Soal Royalti Musisi, PHRI Sebut Lagu Lama Yang Diputar Kembali

JAKARTA, Kliknusae.com – Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menilai aturan soal royalty bagi musisi seperti lagu lama yang diputar kembali. Sebab, masalah ini sudah sejak lama menjadi polemik yang tak juga berkesudahan.

“Oleh sebab itu, kami dari internal akan melakukan pembahasan dalam mensikapi Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik itu,” kata Sekretaris Jenderal PHRI Maulana Yusran ketika dihubungi Kliknusae.com, Rabu (7/4/2021).

Ia dimintai tanggapan terkait PP no 56 tahun 2021 yang sudah ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) per 30 Maret 2021 tersebut.

Sebagaimana diketahui, salah satu poin dalam aturan ini adalah mengenai kewajiban pembayaran royalti oleh semua orang yang menggunakan lagu atau musik secara komersil dalam bentuk layanan publik kepada pencipta, pemegang hak cipta, atau pemilik hak. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 3.

“Setiap orang dapat melakukan Penggunaan Secara Komersial lagu dan/atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial dengan membayar Royalti kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait melalui LMKN,” bunyi dalam ayat 1 pasal 3.

Menurut Alan-sapaan Yusran Maulana, konsep royalty musisi ini sebetulnya sudah berjalan cukup lama, namun pada pelaksanaanya masih grey area (tarik menarik). Siapa sesungguhnya yang berhak untuk menarik royalty di hotel atau restoran. Alat ukurnya seperti apa, kemudian bagaimana dari sisi pengawasannya.

” PP no 56 ini bagi hotel sebetulnya bukan sesuatu yang baru. Kita juga sudah banyak yang membayar rotalty musisi ini. Pada PP yang sebelumnya sendiri masih ada polemik di internal mereka, antara Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan  Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN),” papar Alan.

Dijelaskan Alan, dalam UU No 28 tahun 2016 menyampaikan bahwa  LMKN merupakan  koordinator dari semua LMK, karena sebelum munculnya UU no 28 LMK-LMK ini memungut sendiri-sendiri.

Kemudian amanah UU No 28 itu menunjuk sub koordinatornya LMKN dengan kolektornya disebut KP3R (Koordinator Pelaksanaan Penarikan dan Pendistribusian Royalti).

“Nah, pada pengejawantahan pada tahun 2016 terjadi polemik yang kemudian difasilitasi oleh Dirjen Kekayaan Intelektual (KI). Kami waktu itu sudah menyampaikan bahwa harus dibedakan, dimana hotel dan restoran itu bukan bisnis yang memutar lagu untuk mendapatkan revenue (pendapatan),” tegasnya.

Musik yang diputar di hotel sebagai backsound saja, sebagaimana bagian dari pelayanan sektor pariwisata, termasuk diantaranya untuk mengantak kesenian budaya lokal dalam bentuk lagu-lagu.

” Hotel dan restoran kan juga harus memiliki seni. Beda dengan karaoke atau lounge yang memutar lagu untuk mendapatkan revenue mengingat bisnisnya memang disana,” ungkap Alan.

Hal lain yang sempat menjadi pembahasan adalah soal pemutaran televisi di hotel atau restoran.

“Waktu itu juga pernah dibahas masalah tv, kita kan mutar tv melalui tv cabel dimana menjadi biaya corporate, ada penyedia jasanya. Masak kita dipungut lagi, nggak mungkin dong. Mereka yang memiliki hak siar dan hak jual, sementara kita penikmat kok dipungut juga, bingung kan,” lanjut Alan.

Soal perlindungan hak cipta, kata Alan, pihaknya sepakat dan setuju mengingat sifatnya sudah universal.

Namun dalam hal pungutan royalty hendaknya dibuat aturan yang betul-betul bisa  diimplementasikan dengan baik.

Misalnya, Alan menyebut, bagaimana alat ukurnya, kemudian pengawasannya dari Lembaga terkait terhadap pemutaran lagu-lagu di semua hotel yang jumlahnya begitu banyak.

” Sekarang kan juga sudah banyak bermunculan provider yang menyediakan jasa pemutar music secara premium, sebut saja spotify atau youtube berbayar. Artinya, mereka sendiri tentu sudah membayar hak rotalty seniman, mestinya hotel yang sudah berlangganan tidak mesti dipungut lagi,” ungkapnya.

Sebetulnya selama aturan jelas dalam hal pemungutan royalty, hotel dan restoran tidak akan keberatan.

Katakanlah, pemerintah menyediakan investasi untuk melakukan pengawasan atau monitoring hotel dan restoran mana saja yang memutar lagu-lagu.

“Sekarang zaman sudah digital. Bisa saja kan dipasang alat khusus yang terkoneksi dengan pusat data musik  sehingga lebih terukur. Jangan kemudian terjadi lagi ada pihak-pihak lain yang  “sidak” dan menyatakan kalau kita memutar lagu-lagu tetapi tidak membayar royalty,” ujar Alan.

Hal lain dalam BAB VI ketentuan penutup PP No 56 Tahun 2021 pasal 22 disebutkan:

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:

  1. Menteri membangun pusat data lagu dan I atau musik;dan
  2. LMKN membangun SILM,paling lama 2 (dua) tahun sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.

“Pertanyaan kami, apakah pemerintah sudah membangun pusat data lagu tersebut. Kalau belum, ya jangan dong ada pemungutan royalty lagu di hotel dan restoran,” tutup Alan. (adh)

Share this Post:

Berita Terkait

Berita Lainnya