Tenun Baduy, Tampil Bersahaja Namun Mendunia

Keahlian tenun masyarakat setempat didapat secara tradisi turun-menurun wanita Baduy. Nama-nama tenun Baduy pun berbeda-beda, sesuai fungsinya. Ada kain tenun caor, hapit, barera, jinjingan, limbuhan dan lain-lain. Begitu juga dengan motif yang dihasilkan cukup beragam, seperti motif adu mancung, suat songket, suat balingbing dan lainnya.

Beberapa motif-motif tertentu disesuaikan dengan peruntukannya. Sarung motif kotak-kotak besar, poleng hideung digunakan kaum lelaki. Kain poleng pepetikan digunakan kaum wanita saat ritual menumbuk padi. Ada kain yang khusus dipakai untuk menutupi orang meninggal, yaitu poleng magrib. Dan masih banyak lagi fungsi motif dan peruntukannya.

Di sana pun ada waktu larangan untuk menenun, yakni saat bulan purnama atau tanggal 16 setiap bulannya pada saat ritual 3 bulan Kawaluh (kalender Baduy). Masa ini dianggap sebagai bulan suci bagi masyarakat Baduy. Mereka meyakini pada tanggal tersebut para dewa-dewi sedang menenun, sehingga manusia dilarang untuk melakukan kegiatan yang sama. Aturan tersbeut dikenal dengan sebutan “Pantang Geneup Belas”.

Berbekal kearifan lokal yang bernilai artistik tinggi, kini keberadaan kain tenun Baduy sudah merambah dunia luar. Tak hanya di sekitar Banten, permintaan dari beberapa negara seperti Jepang, Vietnam dan Korea Selatan semakin meningkat. Belum lagi dari beberapa negara di Eropa. Bahkan tenun Baduy pernah melenggang di catwalk “Paris Fashion Week”.***(IG/sumber: pesona.travel).

Share this Post:

Berita Terkait

Berita Lainnya