STP Bandung Gelar Bimbingan Teknis Pariwisata Halal

Sumaryadi (kiri) dan Ledia Hanifa saat menyampaikan materi di hadapan peserta bimtek. (Foto Iwan)

Klik nusae – Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Bandung menggelar kegiatan bimbingan teknis (Bimtek) dengan mengambil tema “Mewujudkan Bandung sebagai Kota Wisata Halal”. Acara bersama DPR RI ini, berlangsung di Holiday Inn, Jalan Dr. Djunjunan (Pasteur) No. 96, Bandung, Rabu (10/4/19).

Bimtek tersebut dibuka langsung oleh Pembantu Ketua II Bidang Administrasi Umum STP Bandung, Budi Setiawan yang mewakili Ketua STP Bandung, Faisal, MM.Par., CHE. yang berhalangan hadir. Turut hadir sebagai pembicara Anggota Komisi X DPR RI, Ledia Hanifa A. dan Sumaryadi dari Tim Percepatan Pengembangan Pariwisata Halal, Kementerian Pariwisata (Kemenpar).

“Wisata halal dapat berkolaborasi dengan lembaga pendidikan. Untuk itu, STP Bandung akan selalu mendukung untuk wisata halal. Dulu kita punya Pusat Kajian Wisata Halal, tapi sekarang dipindahkan ke NTB. Meskipun begitu, STP selalu support untuk wisata halal di Bandung khususnya, Jawa Barat, hingga Nasional,” ujar Budi Setiawan dalam sambutannya.

Dalam pemaparannya, Ledia Hanifa menyampaikan materi mengulas aspek legal untuk mendukung pariwisata halal di Indonesia. Menurutnya, Indonesia sudah memiliki Undang-undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.

“Saya dulu sebagai Ketua Panja RUU jaminan produk halal tahun 2013-2014, hingga akhirnya disahkan UU No. 33 tahun 2014 ini. Sebenarnya pembahasannya sudah dimulai sejak 2006 lalu,” terang Ledia

Menurut Ledia, pariwisata halal itu tidak hanya menjadi urusan pemerintah, tapi semua stakeholders pariwisata harus mendukung destinasi wisata halal. Dalam hal ini, diperlukan sertifikasi halal pada aspek-aspek pariwisata. Aspek tersebut meliputi pelayanan, akomodasi, kulliner, hiburan, dan lingkungan.

Adanya sertifikat halal itu sangat menjanjikan untuk bisnis pariwisata, terbukti di beberapa negara seperti Malaysia, Jepang, Korea, dan Singapura, industri pariwisatanya mengalami kenaikan omset.

“Contohnya restoran fastfood di negara Asia yang sudah memiliki sertifikat halal, mereka mendapatkan kenaikan omset, karena wisatawan muslim jika berkunjung akan memilih restoran yang bersertifikat halal untuk menjamin keamanannya. Di kita ini masih belum tersosialisasi dengan baik persoalan sertifikasi wisata halal. Banyak yang perlu di evaluasi, seperti kekurangan hotel yang mempunyai sertifikat halal,” tambah Ledia.

Sumaryadi menyampaikan pernyataan Menteri Pariwisata Arief Yahya yang menyebutkan, DNA pariwisata di Indonesia itu sudah halal, hal itu bisa menjadi kekuatan, namun bisa juga menjadi kelemahan karena menjadi lengah dan terbuai.

“Kata kunci halal itu bersih. Ada 4 prinsip yang mendasar dalam pariwisata halal yaitu makanan halal, fasilitas ibadah tersedia, air yang cukup untuk bersuci, dan lingkungan yang menyenangkan,” tutur Sumaryadi.

Menanggapi tentang pariwisata halal di Bandung khususnya, dan Jawa Barat pada umumnya, Sumaryadi menilai kekurangannya terletak pada aspek services. Hal itu didasari hasil dari Indonesia Muslim Travel Index (IMTI) 2019, Jabar berada di peringkat ke-6 dengan total nilai 52,3.

“Di Kota Bandung aspek wisata halal, kekurangannya di akomodasi  terutama services. Baru ada satu hotel di Bandung yang memiliki sertifikat halal, berbeda dengan Batam sudah ada 16 hotel,” ujar Sumaryadi.

Kalau pariwisata halal Indonesia ingin global, menurut Sumaryadi harus mempunyai standar global. Seperti IMTI yang berstandar Global Muslim Travel Index (GMTI). Kriterianya meliputi Akses, Komunikasi, Lingkungan, dan Services.*** (IG)

 

 

 

 

 

 

 

Share this Post:

Berita Terkait

Berita Lainnya