Food Heritage Itu Berasal Dari Desa Wisata Hanjeli (Part I)
Perlahan, karena menguntungkan, ada lahan warga yang ditanam 50 persen padi dan 50 persen hanjeli.
Kini, lebih dari 40 warga yang konsisten membudidayakan tanaman pangan tersebut. Luasnya bervariasi, antara 400 meter persegi hingga 5.000 meter persegi.
Dengan jumlah petani sebanyak itu, Asep yakin panen kali ini akan melimpah, mencapai 10 ton, dengan rata-rata panen setiap warga lebih dari 100 kg.
Hampir seluruh hasil panen hanjeli di desa ini dibeli Asep. Dalam sebulan, Asep memperkirakan rata-rata warga bisa mendapat Rp 1 juta dari menanam hanjeli.
Satu pak hanjeli kemasan 250 gram, dijual Rp 10.000 per buah. Dalam sebulan, bisa laku 300- 500 kemasan.
Sebagian hasil panen dijual dan sebagian lainnya dijadikan pangan olahan dengan sasaran konsumen Bandung dan Jakarta. Pembelian secara daring juga dilakukan.
“Warga sudah melihat nilai ekonomi hanjeli. Mereka tidak ragu menanam separuh lahannya untuk Hanjeli. Kalau warga mau menanam satu hektar lahannya untuk hanjeli, mereka mungkin bisa mendapatkan lebih dari 20 juta per sekali panen,” tuturnya.
Tidak hanya di lahan pertanian, warga juga menanam hanjeli di pekarangan rumahnya.
Di awal tahun 2018, Asep mengajak warga memanfaatkan lahan sekitar rumah untuk ditanam hanjeli dan berbagai sayuran lainnya. Dalam bahasa Sunda, pekarangan rumah biasa disebut pipir imah.
“Konsep ini dinamakan Pirus (pipir imah diurus). Jadi, pekarangan warga tidak dibiarkan kosong. Semua sayuran dan buah ditanam. Ada yang menggunakan metode hidroponik tapi kebanyakan menggunakan polybag untuk benihnya,” tuturnya.
Berkat Pirus, setiap rumah memiliki sumber pangan dan gizi yang cukup sehingga tidak perlu bergantung kepada pasar. Tidak hanya hanjeli, di pekarangan rumah warga terlihat pohon tomat, cabe, kangkong, dan banyak sayuran lainnya.
(adh/bersambung)