Pelaku Usaha Sumbang Rp280 Triliun, Tapi Jadi “Anak Bawang” di UU Kepariwisataan

KLIKNUSAE.com – Kontribusi sektor pariwisata terhadap devisa negara mencapai angka fantastis, Rp280 triliun pada 2024.

Angka itu bukan sekadar statistik, melainkan bukti nyata kerja keras jutaan pelaku industri. Mulai dari pengusaha hotel hingga pedagang kecil di destinasi wisata.

Bersama pemerintah, mereka berhasil menarik 13,9 juta wisatawan mancanegara ke Indonesia. Membangun reputasi negeri ini sebagai salah satu tujuan wisata paling menjanjikan di Asia Tenggara.

Namun, di balik keberhasilan itu, muncul kekecewaan mendalam dari kalangan pelaku industri.

Dalam revisi Undang-Undang Kepariwisataan yang disepakati pemerintah dan DPR pada 2 Oktober 2025, peran asosiasi pariwisata justru terpinggirkan.

Salah satu sorotan utama adalah penghapusan BAB XI dalam revisi UU, yang sebelumnya mengatur tentang Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI).

Padahal, GIPI lahir dari amanah UU Nomor 10 Tahun 2009, dan sejak dibentuk pada 2012 menjadi wadah resmi kolaborasi antara pemerintah dan pelaku usaha. Yakni untuk menyusun strategi pembangunan serta promosi pariwisata hingga level internasional.

“Rumah untuk asosiasi pariwisata ini tiba-tiba hilang dalam undang-undang. Tidak ada pembahasan, dan ini mengejutkan pelaku industri,” tulis GIPI dalam siaran persnya yang diterima Kliknusae.com, Senin 13 Oktober 2025.

Hilangnya posisi GIPI dalam revisi UU dinilai mengaburkan arah kerja sama pemerintah dan swasta.

Padahal, kemitraan tersebut terbukti menjadi fondasi penting dalam mendorong peningkatan kualitas destinasi.

BACA JUGA: GIPI Kecewa Tak Masuk dalam UU Kepariwisataan, Untuk Apa Dilibatkan Kalau tak Disahkan

Memperkuat Daya Saing

Utamanya, dalam memperkuat daya saing pariwisata, dan menciptakan kesejahteraan masyarakat di sekitar lokasi wisata.

Selain dihapusnya wadah kolaborasi itu, rencana pembentukan lembaga promosi pariwisata nasional juga tak lagi jelas.

Selama ini, fungsi promosi diemban oleh Badan Promosi Pariwisata Indonesia (BPPI) yang kinerjanya kerap dinilai belum optimal. Ini karena bergantung pada inisiatif pemerintah daerah dan keterbatasan dana.

Sebelumnya, pemerintah sempat berencana mengganti BPPI dengan Indonesia Tourism Board. Lembaga yang diharapkan lebih lincah dan profesional seperti model promosi negara tetangga.

Namun, rencana itu kini menguap bersama penghapusan pasal-pasal yang mengatur GIPI.

Kekecewaan lain datang dari kalangan industri terkait nasib Badan Layanan Umum (BLU) Pariwisata.

BLU dirancang untuk mengelola pungutan wisatawan mancanegara, yang hasilnya akan dipakai untuk pengembangan destinasi dan promosi.

Dalam revisi UU, pemerintah mengambil alih pengelolaan dana itu, tanpa penjelasan rinci soal mekanisme dan transparansinya.

“BLU adalah langkah tepat agar pariwisata tidak selalu bergantung pada APBN. Tapi kini kami khawatir industri kembali kehilangan akses untuk berkembang,” ujar Ketua Bidang Organisasi DPP GIPI, dr Yuno Abeta Lahay.

Dengan sederet pasal yang dinilai melemahkan peran pelaku usaha, GIPI berharap pemerintah dan DPR membuka ruang dialog.

Dialog ini penting untuk memperjelas komitmen keberpihakan negara terhadap pelaku industri pariwisata. Bukan sebaliknya hanya menjadi “anak bawang” yang seperti tak memiliki kontribusi sama sekali.

Sektor yang bukan hanya menghasilkan devisa, tapi juga menggerakkan jutaan lapangan kerja dan menjadi wajah Indonesia di mata dunia. ***

Share this Post:

Berita Terkait

Berita Lainnya