PHRI Jabar Dukung Pemblokiran OTA Asing dan Penertiban Kos-Kosan Ilegal

KLIKNUSAE.com OTA asing makin meresahkan, oleh sebab itu Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Barat, Dodi Ahmad Sofiandi, menyatakan dukungan penuhnya terhadap langkah Badan Pengurus Pusat (BPP) PHRI.

Khususnya, dalam  mendorong pemerintah untuk memblokir sejumlah agen layanan perjalanan daring (Online Travel Agent/OTA) asing yang tidak mengantongi izin resmi di Indonesia.

Menurut Dodi, praktik bisnis OTA asing tanpa izin, termasuk yang tidak memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (SIUPMSE), telah menimbulkan kerugian serius bagi industri pariwisata nasional.

“Negara kehilangan potensi pajak, pelaku usaha domestik jadi korban persaingan tidak sehat, dan pekerja lokal kehilangan peluang kerja,” tegasnya ketika ditemui Kliknusae.com,  Jumat 20 Juni 2025.

Dodi menambahkan, dominasi OTA asing dalam ekosistem digital pariwisata saat ini tidak hanya memukul pelaku usaha lokal. Tetapi juga menciptakan ketimpangan dalam mekanisme distribusi layanan wisata.

Ia pun menekankan pentingnya keberpihakan pemerintah untuk melindungi industri pariwisata nasional dari praktik usaha yang tidak fair dan tidak berizin.

Tak hanya soal OTA, Dodi juga menyoroti maraknya praktik penyewaan kamar harian di sejumlah rumah kos dan apartemen yang tidak mengantongi izin usaha akomodasi resmi.

Ia menilai fenomena ini kian meresahkan, terutama karena unit-unit tersebut menjalankan fungsi serupa hotel, namun tidak tunduk pada regulasi perhotelan.

BACA JUGA: Okupansi Hotel di Ibu Kota Jakarta Terus Merosot, 90 Persen Sudah Mem-PHK Pekerja

Menyewakan Kamar Harian

“Padahal jelas dalam aturan, kos-kosan dan apartemen tidak diperkenankan menyewakan kamar harian. Mereka bukan hotel, tidak punya izin akomodasi, dan ironisnya tidak dikenai pajak. Ini jelas merugikan pemerintah daerah karena ada potensi pajak yang hilang,” ungkap Dodi.

Ia mendorong pemerintah daerah untuk bertindak tegas melakukan penertiban terhadap pelaku usaha akomodasi ilegal tersebut.

Menurutnya, selain merusak tatanan industri perhotelan, praktik semacam ini juga mencederai asas keadilan. Utamanya,  bagi pelaku usaha resmi yang taat aturan dan rutin membayar pajak.

Dodi menutup pernyataannya dengan ajakan kepada seluruh pemangku kepentingan pariwisata. Termasuk regulator, untuk lebih aktif menjaga ekosistem usaha yang sehat, adil, dan berkelanjutan.

“Jika dibiarkan, kondisi ini bukan hanya merugikan pengusaha hotel, tapi juga akan menghambat pertumbuhan pariwisata daerah secara keseluruhan,” pungkasnya.***

Share this Post:

Berita Terkait

Berita Lainnya