Abah Landoeng, Suara Terakhir dari Lorong Romusha hingga Dutch Resistance Museum Amsterdam

KLIKNUSAE.com — Di usia senjanya yang nyaris menyentuh seabad, Landoeng Soewarno masih duduk tegak. Suaranya tak lagi lantang, tapi ingatannya tak lapuk dimakan waktu.

Lelaki 99 tahun asal Cimahi itu kembali membuka lembaran sejarah paling getir dalam hidupnya. Sejarah yang tak tertulis di banyak buku, namun lekat di tubuh dan benaknya.

Sabtu siang, 14 Juni 2025, tim televisi nasional Belanda, Nederlandse Omroep Stichting (NOS), menyambangi Bandung untuk merekam suara yang nyaris padam itu.

Di bawah sorot kamera dokumenter bertajuk “From the Colonies to the War”, Landoeng menceritakan kembali luka lama yang disimpan sejak masa pendudukan Jepang.

Wawancara dilakukan di dua lokasi: kawasan Batik Halus Bandung dan rumahnya di Gang Jameng 5, Cimahi.

Dua tempat itu bukan sembarang titik di peta, melainkan simpul memori yang menyimpan jejak langkah romusha. Buruh paksa zaman Jepang yang hidup di bawah sistem perbudakan modern ala Dai Nippon.

“Dulu ini hutan,” ujar Landoeng sambil menunjuk padatnya pemukiman. “Yang terdengar hanya burung dan nyamuk.”

Delapan dekade lalu, remaja bernama Landoeng dipaksa ikut membuka jalur setapak di hutan Sukaluyu, bersama ratusan pemuda sebangsanya.

Tanpa upah, tanpa makan layak, dan tanpa kepastian hidup. Lebar jalan yang dibuka hanya satu meter, tapi memakan nyawa puluhan.

“Kalau lelah, kami dipukul, diseret ke lapangan, dijemur. Banyak yang tak pulang. Ada yang mati, ada yang dibuang ke lubang,” ucapnya, nyaris berbisik.

Landoeng juga bercerita tentang proyek Goa Jepang di Dago, tempat persembunyian dan gudang senjata tentara Jepang.

BACA JUGA: Abah Landoeng Tanya, Benarkah Pegiat Lingkungan Eka Santosa Terlibat di Perumahan Harmony Hills

Penjajahan itu kejam

Proyek itu, katanya, juga dikerjakan oleh romusha.

“Sedikit yang selamat,” ungkapnya.

Di rumah sederhananya di Cimahi, Landoeng ditemani istri kedua, Sani Suningsih, yang ia nikahi setelah kepergian sang istri pertama, Mie Setiawati.

Ia dikaruniai enam anak dari pernikahan pertamanya—Budi, Agung, Evan, Ayu, Deden, dan Dwi—yang masih rutin datang menjenguk.

Meski tubuhnya renta dan penglihatan mulai kabur, ingatan Landoeng tetap tajam.

Ia berbicara dengan suara datar tapi sarat pesan.

“Abah tinggal menunggu giliran dipanggil Gusti Allah,” katanya.

“Tapi selama masih bernapas, Abah ingin bercerita. Supaya anak cucu tahu: penjajahan itu kejam. Tak ada untungnya.”

Sebagai pensiunan guru, Landoeng menghabiskan 40 tahun hidupnya mengabdi di dunia pendidikan.

Tahun lalu, ia menerima Tanda Kehormatan Veteran Dwi Kora dari Kementerian Pertahanan. Sebuah pengakuan negara atas pengabdiannya.

Kini, kisah hidup Landoeng tak hanya hidup di kepala anak cucunya, tapi juga terpajang di Dutch Resistance Museum, Amsterdam, dalam pameran The Former Dutch Colonies: From World War II to Independence.

“Abah Landoeng luar biasa. Ia tidak bicara dendam, tapi pelajaran kemanusiaan,” ujar Melinde Vassens, jurnalis NOS yang mewawancarainya.

Sementara Ati, jurnalis lokal yang mendampingi, menyebut Landoeng sebagai “suara nurani bangsa”.

“Abah bukan sekadar saksi sejarah. Ia pengingat bahwa kemerdekaan bukan hadiah. Itu warisan dari penderitaan, darah, dan kesabaran.”

Di ujung wawancara, Abah Landoeng menitip pesan kepada generasi muda:

“Jangan cuma hafal lagu nasional. Belajarlah sejarah. Supaya tahu siapa yang membuat kalian bisa menyanyikannya tanpa takut ditembak.”

Kini, di usia 99 tahun, suara Abah mungkin akan segera padam. Tapi lewat dokumenter itu, kisahnya akan terus mengalir di lorong-lorong sejarah yang tak boleh dilupakan. ***

Share this Post:

Berita Terkait

Berita Lainnya