Harvard University Sebut Indonesia Lebih ‘Unggul’ dari Israel, Filipina dan Meksiko soal Kebahagiaan

KLIKNUSAE.com – Sebuah studi global yang dilakukan tim ilmuwan dari Harvard University menyodorkan temuan yang tak biasa, dimana Indonesia dinyatakan sebagai negara paling makmur di dunia.

Bukan dari sisi ekonomi, melainkan dari ukuran kebahagiaan, makna hidup, relasi sosial, dan kesejahteraan spiritual.

Penelitian bertajuk Global Flourishing Study ini melibatkan lebih dari 203 ribu responden dari 22 negara di enam benua.

Mereka disurvei soal tujuh dimensi utama yaknikesehatan, kebahagiaan, makna, karakter, hubungan sosial, keamanan finansial, dan kesejahteraan spiritual.

Hasilnya mengejutkan. Indonesia menempati peringkat tertinggi dengan skor 8,3, mengungguli Israel (7,87), Filipina (7,71), Meksiko (7,64), dan Polandia (7,55).

Sebaliknya, negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris hanya menduduki peringkat ke-12 dan ke-20.

Sementara itu, Jepang, yang dikenal dengan tingkat harapan hidup tinggi, justru berada di posisi buncit dengan skor 5,89.

Para peneliti Harvard University menyebutkan, indikator kemakmuran yang digunakan dalam studi ini bersifat multidimensional.

“Banyak negara maju mencatatkan skor tinggi dalam aspek finansial. Namun rendah dalam makna hidup, relasi sosial, dan pro-sosialitas,” tulis tim peneliti dalam laporan yang dipublikasikan di Nature Mental Health.

Indonesia, meski bukan negara terkaya, unggul dalam hal hubungan sosial dan karakter pro-sosial yang memperkuat komunitas.

Fenomena ini membuktikan bahwa ukuran kesejahteraan tak bisa hanya dilihat dari angka produk domestik bruto atau kemajuan teknologi.

BACA JUGA: Kadaka Park, Tempat Pilihan Nongkrong Baru di Ciater Subang, Berada di Tepi Sungai

Uang Bukan Segalanya

Sedangkan Brendan Case, Direktur Asosiasi di Human Flourishing Program, menyatakan bahwa studi ini tidak dimaksudkan untuk menilai pembangunan ekonomi atau harapan hidup.

Namun, hasilnya menggarisbawahi dilema yang dihadapi banyak negara maju: pertumbuhan ekonomi yang pesat kerap tak sejalan dengan kualitas hidup yang utuh.

“Pertanyaannya, apakah kita mengorbankan makna, hubungan, dan karakter demi kemajuan ekonomi?” ujar Case.

Ia juga menyoroti kemungkinan bahwa sekularisasi yang menyertai pembangunan bisa mengikis dimensi spiritual yang justru menjadi fondasi penting dalam hidup yang ‘berkembang’.

Studi ini juga mencatat bahwa kelompok usia tua cenderung mencatatkan skor kemakmuran yang lebih tinggi.

Sementara usia 18–49 tahun menunjukkan grafik datar, skor meningkat setelah usia 50 tahun.

Ini bertentangan dengan banyak studi sebelumnya yang menunjukkan pola berbentuk U—kebahagiaan rendah di usia menengah dan meningkat di usia tua.

Dengan temuan ini, para peneliti mengajak pembuat kebijakan untuk meninjau kembali arah pembangunan.

Apakah generasi muda kita benar-benar diberdayakan untuk berkembang? Apakah pertumbuhan ekonomi masih relevan jika mengorbankan makna dan relasi?

“Jika tujuan akhir masyarakat adalah berkembang, maka kita perlu memberi perhatian lebih pada spiritualitas, hubungan antarmanusia, dan karakter,” tulis tim peneliti.

Indonesia boleh jadi bukan raksasa ekonomi dunia, tapi dalam hal esensi hidup yang lebih dalam, negeri ini sedang memberi pelajaran penting bagi dunia. ***

Share this Post:

Berita Terkait

Berita Lainnya