Konektivitas, Kunci Menghidupkan Kembali Bandara Internasional Kertajati

BANDARA Internasional Kertajati di Kabupaten Majalengka merupakan salah satu proyek ambisius pemerintah yang dibangun dengan harapan menjadi gerbang utama Jawa Barat, bahkan Indonesia bagian barat.

Namun, harus diakui, sejak awal pembangunannya, bandara ini terkesan prematur.

Minimnya sarana pendukung seperti akses transportasi, akomodasi, serta fasilitas penunjang lainnya membuat bandara ini seperti hidup segan mati tak mau.

Kini, setelah investasi besar digelontorkan—mencapai angka triliunan rupiah—tidak ada pilihan lain selain menghidupkannya kembali.

Salah satu kunci utama adalah konektivitas. Pemerintah daerah harus serius membangun jalur kereta api cepat yang terintegrasi langsung ke Bandara Kertajati.

Bayangkan jika dari bandara ke Kota Bandung hanya memakan waktu 10–15 menit, maka wisatawan atau penumpang akan menjadikan Kertajati sebagai alternatif utama dibanding Soekarno-Hatta yang jauh lebih padat.

Tidak hanya ke Bandung, integrasi konektivitas kereta juga harus merambah ke wilayah Ciayumajakuning (Cirebon, Indramayu, Majalengka, Kuningan).

Kawasan ini punya potensi ekonomi yang besar, dan akses langsung ke bandara akan mempermudah pergerakan manusia dan barang, serta membuka peluang pariwisata dan investasi.

Namun, pembangunan infrastruktur fisik saja tidak cukup. Diperlukan pula keseriusan dalam membangun ecosystem bandara.

BACA JUGA: Bandara Kertajati Kedatangan Kargo Perdana 900 Ekor Domba Australia

Ego Sektoral

Hotel, pusat perbelanjaan, restoran, serta tempat hiburan harus hadir agar kawasan sekitar bandara menjadi magnet ekonomi baru.

Satu hal lagi yang tidak kalah penting,  menanggalkan ego sektoral. Kegagalan masa lalu tidak lepas dari keinginan pemerintah provinsi ketika itu, di bawah kepemimpinan Gubernur Ridwan Kamil yang ingin mengelola bandara secara eksklusif lewat BUMD.

Sayangnya, upaya itu tidak diimbangi dengan modal kuat maupun jaringan maskapai internasional yang memadai.

Di sisi lain, pihak seperti Angkasa Pura yang sudah berpengalaman malah kurang dilibatkan. Ini adalah kesalahan strategis.

Ke depan, semua pihak harus duduk bersama, membangun sinergi antara pemerintah pusat, daerah, BUMN, dan swasta.

Jangan sampai Bandara Kertajati hanya menjadi monumen kemegahan tanpa fungsi.

Langkah Konkret

Dengan langkah konkret dan keseriusan semua pihak, bandara ini masih sangat mungkin menjadi simpul transportasi vital di wilayah barat Indonesia.

Apalagi, berdasarkan data yang ada, pada tahun 2024, pergerakan penumpang di BIJB mencapai 413.240 orang, meningkat tiga kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya.

Meskipun, angka ini sendiri masih jauh dari proyeksi awal yang menargetkan 5,6 hingga 12 juta penumpang per tahun hingga 2024. ​

Ditambah, Kota Bandung sebagai ibu kota Provinsi Jawa Barat memiliki daya tarik wisata yang kuat.

Sebut saja tahun 2024, jumlah kunjungan wisatawan ke Kota Bandung mencapai 8,5 juta orang, meningkat dari 7 juta pada tahun sebelumnya.

Sementara itu, Kabupaten Bandung juga mencatat kunjungan sekitar 7 juta wisatawan pada tahun 2023. ​

Angka-angka ini tentu saja masih berpotensi terjadi  pergerakan yang cukup tinggi, jika Bandara Kertajati secara konsisten bisa melayani pernerbangan ke berbagai daerah di Indonesia.

Oleh karena itu, jika ingin menghidupkan kembali BIJB, perlu pendekatan yang lebih holistic. Yakni, mencakup penguatan konektivitas transportasi, pengembangan sarana pendukung, dan sinergi antar pemangku kepentingan.

Dengan langkah-langkah strategis tersebut, BIJB berpotensi menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru di Jawa Barat.  Sekaligus mengoptimalkan investasi yang telah dilakukan, dan memberikan manfaat luas bagi masyarakat. ***

Oleh: Adhi M Sasono, Editor in Chief

Share this Post:

Berita Terkait

Berita Lainnya