Hotel-hotel di Yogyakarta Sudah Kehilangan 45 Persen Okupansi, IHGMA Punya Angka Kerugian
KLIKNUSAE.com – Hotel-hotel di Yogyakarta sudah kehilangan okupansi yang cukup signifikan. Sebuah catatan buruk yang selama ini belum pernah terjadi dalam rentang yang pendek.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Yogyakarta Deddy Pranowo Eryono, mengungkapkan bahwa Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi anggaran benar-benar memukul industri perhotelan.
Menurut Deddy, kebijakan tersebut menyebabkan penurunan okupansi hotel hingga 45% pada hari kerja (weekdays).
“Sudah sangat terasa sekarang dampaknya. Pada hari biasa kami kehilangan okupansi hingga 45 persen,” kata Deddy yang dihubungi Kliknusae.com, Kamis 6 Maret 2025.
Deddy menjelaskan bahwa sektor Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition (MICE) yang selama ini didominasi oleh kegiatan pemerintah mengalami penurunan drastis akibat kebijakan efisiensi anggaran.
Hal ini berdampak langsung pada pendapatan hotel dan restoran yang mengandalkan sektor tersebut.
Ia menambahkan bahwa jika kondisi ini terus berlanjut, efek domino makin dahsyat. Seperti pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan.
Bahkan jauh dari itu, akan berdampak pada terganggunya mata rantai bisnis dengan UMKM, agen perjalanan, dan event organizer (EO).
Oleh sebab itu, PHRI DIY berharap pemerintah dapat meninjau ulang kebijakan efisiensi anggaran ini dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap sektor pariwisata dan ekonomi lokal.
Deddy menekankan bahwa sektor perhotelan dan restoran merupakan penyumbang pajak yang signifikan bagi daerah. Oleh karenanya, keberlangsungan bisnis mereka penting untuk menjaga stabilitas ekonomi regional.
Selain itu, Deddy juga mengingatkan bahwa dampak kebijakan ini tidak hanya dirasakan oleh pelaku industri perhotelan dan restoran. Tetapi juga oleh sektor-sektor terkait lainnya.
Itu sebabnya, diperlukan solusi komprehensif untuk menjaga keberlangsungan industri pariwisata di Yogyakarta.
Kerugian Hingga 500 Juta
Sementara itu, Ketua Umum Indonesian Hotel General Manager Association (IHGMA), I Gede Arya Pering Arimbawa, mengungkap hasil survei DPP IHGMA pada Februari 2025 yang melibatkan 315 hotel.
Hasilnya? Tingkat hunian nasional rontok 10 sampai 20 persen, setara dengan potensi kehilangan pendapatan sebesar Rp500 juta hingga Rp1 miliar dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Tak heran jika Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya—yang selama ini jadi pusat aktivitas pemerintahan dan bisnis—menjadi kota-kota dengan penurunan okupansi paling tajam.
“Efisiensi anggaran ini membuat perjalanan dinas dan rapat di hotel berkurang drastis. Hotel-hotel berbintang yang biasanya jadi pilihan instansi pemerintah terkena imbas paling besar,” kata Arimbawa.
Goyangnya Ekosistem Perhotelan
Tak hanya pengusaha hotel yang ketar-ketir, gelombang dampak ikut menyapu industri pendukung. Sektor katering, transportasi, hingga penyelenggara acara (event organizer) ikut merasakan perlambatan bisnis akibat minimnya kegiatan pemerintah di hotel.
Di sisi lain, pemilik hotel mulai menyesuaikan strategi. Efisiensi tenaga kerja menjadi langkah pahit yang harus ditempuh untuk meredam tingginya biaya operasional di tengah anjloknya pemasukan.
BACA JUGA: eL Hotel Bandung Jadi Venue Pembukaan Safari Ramadhan ke-33 PHRI Jabar
Putar Otak Cari Solusi
Di tengah situasi yang serba tak pasti, pelaku industri perhotelan harus bergerak cepat.
“Kami harus mengubah strategi bisnis agar tetap bertahan. Tapi, proses ini tidak bisa instan,” ujar Arimbawa.
Sedangkan, Wakil Ketua Umum IHGMA, Wita Jacob dan Garna Sobhara Swara, menekankan pentingnya inovasi dalam pemasaran. Serta diversifikasi target pasar untuk mengurangi ketergantungan terhadap segmen MICE.
Menjaring tamu dari kalangan wisatawan dan korporasi swasta menjadi opsi realistis.
Pendiri IHGMA, Angkoso Soekadari, juga menegaskan bahwa peran asosiasi semakin krusial dalam membantu para General Manager hotel menghadapi perubahan pasar.
“Kami terus memberikan pendampingan agar mereka mampu beradaptasi dengan situasi yang berkembang.”
Satu hal yang pasti, industri perhotelan tak bisa lagi hanya bergantung pada tamu dari instansi pemerintah.
Kini, mereka harus putar otak, mencari cara baru agar bisnis tetap hidup di tengah kebijakan efisiensi anggaran yang makin ketat. ***