BPK Khawatir Pemerintah Tak Bisa Bayar Utang Rp 6.500 T, Begini Alasannya
JAKARTA, KLIKNUSAE.com – Ketua Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna mengkhawatirkan kemampuan pemerintah dalam membayar utang dan bunga utang menurun.
Kekhawatiran tersebut didorong tren penambahan utang terutama akibat pandemi Covid-19. Pertumbuhan utang dan biaya bunga yang ditanggung pemerintah ini melampaui pertumbuhan PDB nasional.
Pandemi Covid-19 juga telah meningkatkan defisit, utang, dan sisa lebih penggunaan anggaran (Silpa) yang berdampak pada pengelolaan fiskal.
“Meskipun rasio defisit dan utang terhadap PDB masih di bawah rasio yang ditetapkan dalam Perpres 72 dan UU Keuangan Negara, tapi trennya menunjukkan adanya peningkatan yang perlu diwaspadai pemerintah,” kata Agung dalam Rapat Paripurna, Selasa 22 Juni 2021.
Agung menuturkan, penurunan kemampuan bayar pemerintah patut dikhawatirkan lantaran indikator kerentanan utang tahun 2020 melampaui batas yang direkomendasikan IMF dan International Debt Relief (IDR).
BPK dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LHP) LKPP 2020, menilai ke depannya kemampuan pemerintah untuk membayar utang makin menurun.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sendiri mencatat utang pemerintah mencapai Rp 6.527,29 triliun atau 41,18% terhadap PDB per April 2021.
“Tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga melampaui pertumbuhan PDB dan penerimaan negara yang memunculkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar,” tulis BPK dalam ringkasan eksekutif LHP LKPP 2020 sebagimana dikutip Kliknusae dari detikcom, Kamis 24 Juni 2021.
BPK juga memaparkan beberapa indikator yang mendasari kekhawatirannya soal kemampuan pemerintah untuk membayar utang makin menurun.
Saat ini, BPK menilai rasio utang Indonesia terhadap penerimaan sudah tembus 369% atau jauh di atas rekomendasi International Debt Relief (IDR).
Padahal, standar IDR untuk rasio utang yang stabil berada di 92-176%. Kemudian, bila melihat rekomendasi Dana Moneter Internasional (IMF) berada di 90-150%.
Selain itu, rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77%, hal ini telah melampaui rekomendasi IMF sebesar 25-35%.
Sementara itu, rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06%. “Melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6-6,8% dan rekomendasi IMF sebesar 7-10%,” papar BPK.
BPK juga menyoroti indikator kesinambungan fiskal 2020 sebesar 4,27% yang telah melampaui batas yang direkomendasikan The International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 5441- debt indicator yakni di bawah 0%.
“Pandemi COVID-19 meningkatkan defisit, utang dan SILPA yang berdampak pada peningkatan risiko pengelolaan fiskal,” jelas BPK. ***