Cinta Yang Berlabuh Di Takuban Perahu
“Dan suara yang tenang meningkat lebih tinggi dan lebih tinggi di jalan yang menanjak”¦”
LOUIS Couperus bagai kehilangan kata-kata ketika menikmati puncak Gunung Takuban perahu. Novelis dan penulis berkebangsaan Belanda yang mekar pada tahun 1923 itu tak ingin melewati momen-momen indah diantara pancaran mentari pagi di bibir Kawah Ratu. Pengalamannya saat berada di dataran tinggi Lembang itu masih terasa hingga hari ini.
Ya, pesona alam Takuban Perahu bagai siluit alam yang memijar diantara barisan bukit dan ngarai. Memikat, menjerat dan menyimpan mimpi yang indah.
Bahkan bukan hanya merpati yang ingin berlabuh, semua yang merasakan kesegaran alamnya ingin segera datang kembali.
Disinilah nafas cinta Louis Couperus bersemayam. Bersama sang istri, Louis melukiskan, hidupnya bersama sang istri, bagai pahatan batu yang melekat.
Berbeda dengan kegiatan wisata alam mendaki gunung lainnya, kawasan Gunung Takuban Perahu relatif mudah dicapai.
Pengunjung tidak usah bersusah-payah berjam-jam atau bahkan berhari-hari mendaki untuk menikmati keindahan karena ada akses jalan yang bisa dilalui kendaraan bermotor roda empat hingga menuju bibir kawahnya.
Kalau dulu Couperus harus bersusah payah melintasi hutan dan mendaki gunung untuk sampai ke Kawah Ratu, namun kini situasi sudah berubah.
Siapapun dapat dengan mudah menikmtai keindahan kawasan pegunungan Takuban Perahu beserta kawah-kawahnya.Gunung Takuban Perahu relatif mudah dicapai dengan kendaraan bermotor hingga ke pinggiran kawah.
Kawasan wisata Gunung Tangkuban Perahu terletak sekitar 30 kilometer di sebelah utara Kota Bandung.
Secara administratif kawasan Gunung Takuban Perahu sebelah selatan berada di bawah wilayah Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat.Sebelah Utara kecamatan Sagalaherang, dan sebelah timur laut kecamatan Jalancagak Kabupaten Subang.
Tak salah jika pria tua ini mengaku sudah berulangkali berlibur di Takuban Perahu,tetapi tetap menyisakan kerinduan.
Entah, mungkin masih terselip kisah mudanya dulu hingga sulit untuk melupakan tempat ini.
“Setiap saya kesini, tempat ini yang saya sukai,” kata pria tadi sambil menatap hamparan gunung yang menghijau.
Keramaian sekeliling tak membuat dirinya bergeming, pria yang mengaku berasal dari Bandung ini, sungguh menikmati udara pagi itu di pinggiran kawah Takuban Perahu.
Sajak ini, rasanya cukup mengambarkan bagaimana pria paruh baya itu seperti tak ingin kehilangan waktu untuk menikmati kebesaran Ilahi;
- Senja makin menua
- Ketika tersadar,
- Ternyata kita sudah menari cukup lama
- Mungkin pesta ini sedetik lagi usai
- Tak lagi ramai
- Mulai berkabut
- Sini..
- Duduk sebentar
- Secangkir lemon hangat
- Buat singkut terpaan dingin yang mengoyak kemudaan
- Lelah adanya
- Renta memeluk
- Pembaringan kita mulai rindu
- Menjamah hasrat kita yang linu
- Cukuplah menari
- Mari berbaring
- Sini..
- Dekat-dekat biar hangat
- Dingin malam kian melekat
- Sayang.. lebih merapat
- Agar jelas rautmu kulihat
- Bila esok tak datang untukku
- Dinda..
- Biar kukecup hidungmu untuk terakhir
- Tetap dekap
- Cintaku
- Sampai tubuh ini menyerpih
- Dan terbang jadi debu
- Kita hanya bualan waktu
- Tak perlu mencinta
- Akhirnya pun akan terpisah
- Lenyap bersama alunan lagu
- Jangan percaya keabadian..
- Tak ada keabadian..
(adh)