Hotel-hotel Di Bandung Barat Lakukan Penyesuaian Harga
JELAJAH NUSA – Hotel-hotel di Kabupaten Bandung Barat,Jawa Barat pada liburan Natal 2018 dan Tahun Baru 2019 akan melakukan penyesuian harga. Hal ini dilakukan untuk menjaga okupansi hotel tidak terjun bebas.
Dengan tren tingkat hunian yang terus, memberikan harga yang menarik adalah solusi jangka pendek yang dinilai tepat untuk dilakukan. Sampai pertengahan bulan Desember 2018 ini hampir seluruh hotelnya berada di Lembang, tingkat hunian baru mencapai sekitar 60 persen.
“Kalau Desember 2018 bisa 80 persen, maka rata-rata okupansi hotel pada 2018 bisa menjadi 48 persen. Sampai dengan saat ini, dari 20 Desember sampai 31 Desember sudah 60 persen. Diprediksikan, sampai akhir tahun bisa sekitar 80 persen,” demikian disampaikan Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kabupaten Bandung Barat Samuel Setiadi, Jumat 21 Desember 2018.
Dia berharap, tingkat okupansi hotel pada libur Natal dan Tahun Baru kali ini cukup signifikan, sehingga dapat mengatrol tingkat okupansi sepanjang tahun.
Menurut Samuel, tingkat okupansi hotel di Bandung Barat pada tahun ini mengalami penurunan dibandingkan pada tahun sebelumnya.
Pada 2017, dia menyebutkan, rata-rata okupansi hotel dalam setahun ialah 48,5 persen. Adapun pada tahun ini, rata-ratanya masih dia angka 47 persen.
“Dibanding tahun 2017, untuk tahun ini okupansi hotel mengalami penurunan. Tahun ini paling sekitar 48 persen. Di Kota Bandung juga sama, saya bicara dengan teman-teman di PHRI Jawa Barat, diharapkan okupansinya bisa 50 persen, tapi sepertinya susah. Rata-rata okupansinya 45-50 persen,” katanya.
Penurunan tingkat okupansi hotel tersebut, terang dia, sebetulnya dipicu oleh pertumbuhan hotel yang pesat.
Oleh karena itu, Samuel menyatakan, saat ini PHRI Jabar dikabarkan sudah tidak mau membuat surat rekomendasi untuk perizinan hotel.
Meski begitu, Samuel mengatakan, di setiap daerah terdapat tantangannya masing-masing. Dia menyontohkan, tingkat hunian hotel di Sumedang, terutama di kawasan Jatinangor, sangat dipengaruhi oleh penyewaan apartemen milik pribadi.
“Kalau di Lembang, persoalannya terkait dengan kemacetan. Infrastruktur yang minim juga masuk hitungan. Belum lagi vila-vila seperti di Istana Bunga, perumahan Graha Puspa, Jalan Maribaya, atau di Dago atas yang disewa-sewakan oleh pemiliknya langsung,” katanya.
Menurut dia, upaya yang biasa dilakukan para pengusaha hotel untuk menyiasati penurunan okupansi ialah dengan cara melakukan penyesuaian harga. Samuel pun berharap agar Pemerintah Kabupaten Bandung Barat bisa menjembatani para pengusaha hotel, sekaligus untuk memajukan pariwisata di KBB.
“Dari pendataan kami, setiap tahun ada belasan penambahan tempat usaha baru. Tahun ini sudah lebih dari 300 hotel dan restoran,” ungkanya.
Itu pula sebabnya, pihaknya sudah berkoordinasi dengan pemerintah daerah, dan sudah ada surat edaran bupati ke pengusaha hotel agar bergabung dengan PHRI.
“Maksudnya, biar paling tidak ada kontrol. Jadi, setiap mau mengajukan perizinan perlu ada rekomendasi PHRI dulu,” tandasnya.
(adh/pr)