DPR Kawal Revisi UU Hak Cipta Usai Foto Setruk Pembyaran Royalti Musik Viral

KLIKNUSAE.com  — Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Sufmi Dasco Ahmad turun tangan menyikapi viralnya foto setruk pembayaran royalti di sebuah restoran.

Dalam setruk bertanggal 5 Agustus 2025  tersebut tercantum tambahan biaya royalti lagu dan musik. Pelanggan dikenakan tarif sebesar Rp29.140 untuk royalti musik.

Foto tersebut memicu kembali kontroversi aturan pembayaran royalti lagu dan musik. Dimana, belakangan membuat banyak kafe, restoran, dan tempat hiburan memilih tidak lagi memutar musik Indonesia.

Dasco memastikan DPR akan mengawal revisi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta agar tidak memberatkan dunia usaha, termasuk restoran, kafe, dan hotel.

“Pengelolaan royalti masuk dalam substansi revisi UU Hak Cipta yang saat ini sedang dibahas. Revisi ini masuk dalam program legislasi nasional prioritas 2025,” ujar Dasco di Jakarta, kemarin.

Ia optimistis pembentukan formasi baru komisioner Lembaga Kolektif Manajemen Nasional (LKMN) dapat menyelesaikan polemik penarikan royalti.

“Dibuatkan peraturan menteri baru untuk mengatur supaya pengambilan royalti nantinya tidak memberatkan usaha. Baik itu rumah makan, restoran, dan tempat hiburan lainnya,” ucapnya.

Sementara itu, President Director Sahid Hotels & Resorts sekaligus Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani menilai aturan royalti yang berlaku saat ini memberatkan dan perlu segera direvisi.

BACA JUGA: Pemerintah Siap Turun Tangan Atasi Polemik Royalti Musik

UU Hak Cipta

Ia menyoroti adanya penagihan mundur hingga sejak 2014, saat UU Hak Cipta mulai berlaku.

“Ini sangat aneh dan memberatkan. Seharusnya yang ditagihkan hanya untuk periode berjalan,” katanya.

PHRI juga mengkritik minimnya sosialisasi aturan serta praktik penagihan yang kerap melibatkan aparat penegak hukum.

Menurut Hariyadi, metode penetapan tarif—berdasarkan jumlah kamar untuk hotel, jumlah kursi untuk restoran, atau luas area—tidak relevan.

“Pendapatan usaha tidak konsisten, apalagi jika musik hanya digunakan sebagai latar belakang. Dengan konsep tarif seperti sekarang, lagu menjadi barang mahal di tempat usaha,” tegasnya.

Hariyadi menambahkan, pemerintah harus dilibatkan dalam penyusunan tarif, bukan sekadar mengesahkan usulan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).

PHRI juga meminta agar pencipta diberi hak untuk secara resmi membebaskan karyanya dari royalti tanpa diabaikan oleh LMK.

“LMK bekerja harus berdasarkan mandat dari pencipta, dan mandat itu harus dapat dibuktikan,” ujarnya. ***

 

Share this Post:

Berita Terkait

Berita Lainnya