Rengekan Anak, Demonstrasi di Gedung Sate dan Komitmen yang Ditinggalkan

Oleh: Chevy Ferdian

Dewan Penasihat Asosiasi Pelaku Pariwisata Indonesia (ASPPI) DPD Jabar

SORE itu saya baru saja menutup perdebatan kecil dengan anak bungsu. Ia meminta jatah bermain gawai di hari sekolah.

Padahal, sejak awal kami sepakat, hak itu hanya berlaku di akhir pekan. Ia merengek, menangis, membujuk dengan segala cara.

Tapi saya menolak. Sebab, menjaga komitmen adalah bagian dari pendidikan.

Entah kenapa pikiran saya melompat pada peristiwa yang terjadi beberapa jam sebelumnya. Ratusan pelaku pariwisata berbondong-bondong datang ke Gedung Sate—tempat Gubernur Dedi Mulyadi berkantor.

Mereka datang bukan untuk berpesta. Mereka datang membawa unek-unek, kegelisahan, dan kekhawatiran.

Mereka ingin bicara. Tapi sayangnya, sang tuan rumah enggan menemui.

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, atau yang lebih dikenal dengan KDM, memilih bersembunyi di balik pernyataan satu arah.

Menjaga larangan study tour dengan alasan mulia: meringankan beban orangtua.

Tapi seperti anak kecil yang menangis minta gawai, sektor pariwisata juga sedang minta perhatian.

Dan alih-alih diajak bicara, mereka dibiarkan mengetuk pintu yang tak dibuka.

Masalahnya bukan pada larangannya semata. Masalahnya ada pada ketidakhadiran solusi, absennya komunikasi. Dan abainya pemimpin terhadap efek domino yang ditimbulkan.

KDM bicara soal harapan agar pariwisata Jawa Barat didatangi tamu-tamu dari luar negeri.

Tapi ia lupa satu hal penting: realitas di lapangan tak semudah ucapan di podium.

Ia lupa bahwa Bandara Husein tak seramai dulu.

Ia luput dari kenyataan bahwa monopoli maskapai membuat biaya perjalanan udara semakin menjulang.

Siapa yang akan datang dengan tiket semahal itu?

Ia juga tak menyentuh soal transisi yang pelik: bagaimana para pelaku wisata yang selama ini mengandalkan pasar sekolah bisa beradaptasi ke pasar inbound?

Apakah cukup hanya dengan imbauan? Apakah strategi promosi luar negeri kita sudah sebanding dengan negara tetangga?

Visit Malaysia

Saya baru saja pulang dari Osaka, Jepang, pekan lalu. Mendarat dengan Malaysia Airlines.

Di Dotonbori, jantung keramaian wisatawan mancanegara, terpampang jelas baliho digital bertuliskan “Visit Malaysia”.

Banner promosi itu menyala sepanjang arus lalu lintas turis. Promosi yang tak main-main. Ada barter.

Ada kerja keras. Ada koordinasi antara JNTO dan Tourism Malaysia.

Mereka hadir di berbagai expo, di MATTA Fair, hingga menjalin kerja sama sertifikasi halal.

Semua sistematis, terukur, dan terarah.

Apa KDM pernah memikirkan sejauh itu? Atau ia hanya mengandalkan pendekatan moral tanpa membuka ruang diskusi?

Saya ingat lagi wajah anak saya sore itu. Menangis karena merasa diperlakukan tidak adil.

Tapi saya tahu, tugas saya bukan hanya menolak, tapi juga menjelaskan, menyampaikan sebab dan arah.

Anak saya akhirnya bisa menerima, karena ia merasa didengarkan.

Mungkin itulah yang tak didapat pelaku pariwisata sore kemarin,  telinga yang mau mendengar. ***

Share this Post:

Berita Terkait

Berita Lainnya