Pelayanan Kesehatan Kita Vs Island Hospital Penang Malaysia

Oleh: Adhi M Sasono, Editor in Chief

TAK bisa dimungkiri, pelayanan kesehatan di Indonesia masih menyisakan banyak persoalan.

Kata “muram” tampaknya belum cukup menggambarkan bagaimana wajah sistem kesehatan sebagian rumah sakit kita.

Banyak masyarakat yang merasa kecewa, bingung, bahkan trauma ketika harus berhadapan dengan layanan rumah sakit.

Alih-alih sembuh, tak sedikit justru merasa makin terpuruk.

Maka, tidak heran bila ribuan warga Indonesia lebih memilih terbang ke luar negeri hanya untuk mendapat pelayanan medis yang manusiawi dan profesional.

Salah satu tujuan favorit adalah Island Hospital di Penang, Malaysia.

Ini bukan soal nasionalisme. Ini soal kenyataan. Berdasarkan data, masyarakat Indonesia setiap tahunnya menghabiskan lebih dari 12 juta dolar AS—atau setara Rp165 triliun—untuk kebutuhan health tourism.

Jumlah ini jelas fantastis, dan sayangnya, mengalir ke luar negeri. Tapi memang, apa yang bisa mereka harapkan di dalam negeri jika sistem yang mestinya memberi rasa aman justru membuat cemas sejak di depan loket?

Perbandingannya memang seperti langit dan bumi. Di rumah sakit-rumah sakit seperti Island Hospital Penang, para petugas kesehatan berstatus karyawan tetap.

Mereka hadir setiap hari, siap menangani pasien kapan saja. Bandingkan dengan sebagian di rumah sakit kita, di mana banyak petugas kesehatan hanya berstatus konsultan. Mereka berpindah dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain.

Akibatnya, jadwal mereka tidak menentu. Pasien pun harus berjibaku dengan ketidakpastian—kadang harus menunggu berjam-jam. Bahkan berhari-hari, hanya untuk bertemu dokter.

Di Penang, tidak ada cerita pasien dibentak, disuruh menunggu tanpa kepastian, atau dipingpong dari satu loket ke loket lainnya.

Semua serba cepat, tertata, dan efisien. Tes laboratorium bisa selesai dalam hitungan menit, dan keputusan medis diberikan dengan kehangatan serta empati.

Tak perlu rawat inap jika memang tidak diperlukan. Bila butuh istirahat, pasien akan diberi saran menginap di hotel dengan berbagai pilihan sesuai anggaran.

Bahkan, mayoritas staf rumah sakit bisa berbahasa Indonesia. Komunikasi bukan kendala, pelayanan bukan sekadar prosedur, tapi bagian dari upaya penyembuhan.

Lantas, apa kabar dengan rumah sakit kita sendiri? Tidak semua memang, tapi sangat sering kita temukan pasien BPJS diperlakukan seolah warga kelas dua.

Masih ingat, bagaimana geramnya Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi ketika menemukan kasus warga yang tidak terlayani dengan baik. Padahal ia memiliki BPJS–yang notabene setiap bulannya menyetor iuran.

Banyak rumah sakit yang abai terhadap hak-hak pasien hanya karena dianggap “tidak membayar langsung”.

Padahal, negara sudah menanggung. Ironisnya, ada saja yang lebih antusias melayani di klinik pribadinya ketimbang di rumah sakit tempat mereka terikat kontrak.

Kita harus jujur,  sistem kesehatan kita perlu revolusi besar-besaran. Mulai dari pengelolaan SDM, sistem honorarium tenaga medis, hingga manajemen layanan yang lebih berorientasi pada kepuasan dan keselamatan pasien.

Jangan biarkan lagi rakyat Indonesia menjadikan rumah sakit sebagai tempat terakhir untuk berharap.

Sebab jika pelayanan dasar seperti kesehatan saja terus dibiarkan dalam kondisi amburadul, maka kita telah gagal menjalankan satu prinsip utama dalam bernegara: melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. ***

Rekdasi: Terjadi perbaikan di artikel ini pada Kamis, 10 Juli 2025, pukul 10.29 WIB supaya tidak terjadi salah penafsiran. Terim kasih.

Share this Post:

Berita Terkait

Berita Lainnya