KDM Harus Berani Mengubah Angkot Jadi Feeder untuk Atasi Kemacetan

Oleh: Adhi M Sasono, Editor in Chief

Kemacetan di Kota Bandung bukan lagi sekadar soal lalu lintas yang tersendat. Ia telah menjelma menjadi krisis perkotaan.

Menurunkan kualitas hidup, memperparah polusi udara, dan menggerus produktivitas warganya.

Bahkan, dalam laporan terbaru Tomtom Traffic Index, Kota Bandung saat ini menjadi Kota paling macet nomor satu di Indonesia.

Berdasarkan data dari Tomtom Traffic Index, rata-rata perjalanan per 10 kilometer (Km) di Ibu Kota Jawa Barat ini harus ditempuh selama 33 menit.

Ironis, untuk kota yang dulu dikenal sebagai Paris van Java.

Oleh sebab itu, sudah saatnya Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (KDM) mengambil sikap berani dan progresif.

Salah satu langkah strategis yang patut diambil adalah menjadikan seluruh angkutan kota (angkot) di Bandung dan Cimahi sebagai moda feeder. Yakni transportasi pendukung yang hanya beroperasi di jalan-jalan kecil, perkampungan, dan kompleks perumahan.

Mereka tidak lagi diizinkan melintas di jalan-jalan protokol atau arteri utama kota.

Langkah ini bukan hanya soal menertibkan lalu lintas, melainkan merestorasi tata kota agar lebih manusiawi dan efisien.

Jalan-jalan utama seharusnya didedikasikan untuk moda transportasi massal berkapasitas besar dan terjadwal. Seperti BRT (Bus Rapid Transit) atau LRT, bukan angkot yang berhenti sembarangan dan seringkali berebut penumpang tanpa koordinasi.

Namun, mengubah wajah transportasi publik tidak semudah membalikkan telapak tangan.

KDM perlu mengambil pendekatan struktural dan kultural secara simultan.

Salah satu tantangan terbesar adalah menghadapi para pemilik angkot. Yang sebagian bukan hanya pengusaha kecil. Tetapi juga terafiliasi dengan aparat negara, sehingga memiliki kekuatan politik yang tidak bisa diremehkan.

Dialog Berkeadilan

Pendekatan yang dibutuhkan adalah dialog yang berkeadilan. KDM harus mampu menyusun skema transisi yang adil bagi para pemilik angkot.

Misalnya, mereka bisa diberi insentif untuk bergabung dalam koperasi transportasi. Diintegrasikan dalam sistem angkutan feeder yang berbasis digital. Atau bahkan diajak berinvestasi dalam moda transportasi massal yang lebih besar dan modern.

Selain itu, standarisasi sopir angkot juga wajib dilakukan. Setiap sopir harus mengantongi lisensi resmi.

Mereka, harus  mengikuti pelatihan pelayanan publik, dan diawasi dalam sistem kerja yang profesional.

Ini tidak hanya meningkatkan keselamatan penumpang, tetapi juga membangun kembali kepercayaan publik terhadap angkutan umum.

Tentu akan ada resistensi di awal, tapi tidak ada reformasi besar yang berjalan mulus tanpa komitmen politik yang kuat.

Jika KDM mampu melaksanakan ini, maka ia bukan hanya menyelesaikan kemacetan Bandung. Namun,  juga meninggalkan legacy besar dalam sejarah perbaikan sistem transportasi Jawa Barat.

Bandung tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang macet dan polusi. Ia butuh keberanian pemimpinnya untuk memutus siklus ketidakteraturan ini.

Dan harapan itu, kini ada di pundak Dedi Mulyadi. ***

Share this Post:

Berita Terkait

Berita Lainnya