Reaktivasi Bandara Husein, Antara Emosi dan Rasionalitas Transportasi

Oleh: Adhi M Sasono, Editor in Chief

KEINGINAN Wali Kota Bandung Muhammad Farhan untuk mengaktifkan kembali Bandara Husein Sastranegara sebagai bandara komersial patut dicermati secara kritis.

Meski niatnya didasari semangat mendorong pariwisata Kota Bandung, langkah ini justru terkesan emosional dan kurang mempertimbangkan realitas geografis, historis, dan potensi jangka panjang pembangunan transportasi regional Jawa Barat.

Sejak awal, Bandara Husein bukanlah bandara yang dirancang untuk menampung lalu lintas penerbangan komersial secara masif.

Letaknya yang terkungkung oleh pegunungan menjadikannya tidak ideal untuk ekspansi atau peningkatan kapasitas.

Pakar transportasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Sony Sulaksono, sudah menegaskan bahwa secara teknis dan geografis, bandara ini memang sulit berkembang.

Terlebih, sejarahnya adalah sebagai pangkalan udara militer, bukan simpul transportasi sipil seperti Soekarno-Hatta di Jakarta atau Ngurah Rai di Bali.

Maka, jika kekhawatiran Farhan adalah potensi kehilangan wisatawan akibat matinya penerbangan langsung ke Bandung, semestinya solusi yang ditawarkan bukan reaktivasi Bandara Husein, tetapi optimalisasi Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati.

Bandara ini merupakan proyek ambisius Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang menyerap investasi besar dan hingga kini belum berfungsi maksimal.

Bukankah lebih bijak jika Farhan, sebagai kepala daerah ibu kota provinsi, mendukung langkah Gubernur Dedi Mulyadi dalam menghidupkan kembali Kertajati?

Farhan bisa mengajak Dedi duduk bersama untuk merumuskan strategi kolaboratif antara Bandung dan wilayah Ciayumajakuning.

Misalnya, percepatan infrastruktur konektivitas seperti jalur kereta cepat atau tol prioritas yang langsung menghubungkan BIJB ke Bandung.

Sistem transportasi yang efisien

Dengan sistem transportasi yang efisien, wisatawan yang mendarat di Kertajati tetap bisa menjangkau Bandung dalam waktu singkat.

Tidak hanya itu, pengembangan destinasi wisata secara terintegrasi juga perlu dimulai. Bandung dapat bersinergi dengan Majalengka, Sumedang, hingga Cirebon dalam membuat paket wisata lintas daerah yang saling menguntungkan.

Artinya, justru lewat sinergi inilah Bandung bisa menjaga bahkan memperluas market wisatanya, ketimbang mempertahankan bandara sempit yang terbukti tidak lagi layak pakai secara komersial.

Ironisnya, semangat Farhan untuk membuka kembali Bandara Husein tampak bertolak belakang dengan pendekatannya selama ini yang senantiasa selaras dengan visi pembangunan Gubernur Dedi.

Contoh konkret adalah gagasan menghadirkan koridor etalase budaya dan ekonomi di sepanjang jalan Dr. Djunjunan sebagai gerbang Jawa Barat yang membanggakan.

Bukankah ini menandakan adanya spirit kolaborasi yang seharusnya dijaga?

Reaktivasi Bandara Husein bukanlah solusi yang menjawab tantangan transportasi dan pariwisata Jawa Barat hari ini.

Yang dibutuhkan justru strategi integratif dan komunikasi yang solid antara kota dan provinsi.

Ketika kepala daerah memaksakan kehendak tanpa landasan teknis yang kokoh, maka yang lahir bukan solusi, melainkan tumpang tindih kebijakan yang justru menghambat kemajuan.

Sudah waktunya Farhan mengedepankan nalar strategis ketimbang sentimen emosional. Bukan demi prestise pribadi atau ego sektoral, tetapi demi masa depan pariwisata dan konektivitas Jawa Barat yang inklusif dan berkelanjutan. ***

Share this Post:

Berita Terkait

Berita Lainnya