Kembalikan ke Rencana Awal, Solusi Menghidupkan Bandara Kertajati
Oleh: Adhi M Sasono, Editor in Chief
BANDARA Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati, yang dibangun dengan harapan menjadi pusat konektivitas udara baru di wilayah Jawa Barat dan sekitarnya, kini seperti harimau tanpa taring.
Proyek yang digadang-gadang sebagai penopang ekonomi dan mobilitas kawasan ini justru mengalami stagnasi akibat kesalahan paling mendasar, pemutusan akses dari jalur transportasi cepat dan efisien.
Padahal, dalam perencanaan awal, Bandara Kertajati dirancang akan terintegrasi dengan jaringan Kereta Cepat Jakarta–Surabaya.
Rute ini bukan hanya menjanjikan konektivitas lintas kota dalam waktu singkat, tetapi juga akan menjadikan Kertajati sebagai simpul strategis.
Khususnya, bagi pergerakan penumpang dan logistik di Pulau Jawa. Dalam rancangan itu, kereta cepat—yang kini dikenal sebagai Whoosh—akan berhenti di Majalengka, tempat BIJB berdiri megah.
Pakar perhubungan, Agus Pamoedi, sejak awal sudah mengingatkan bahwa akses kereta cepat adalah kunci utama bagi hidup matinya Bandara Kertajati.
Tanpa konektivitas yang solid, apalagi di wilayah yang jauh dari pusat keramaian urban, bandara sebesar apa pun tak akan lebih dari monumen infrastruktur.
Sayangnya, keputusan politik mengubah semua itu. Rezim Presiden Joko Widodo justru memutuskan untuk menggandeng China, bukan Jepang, dalam proyek kereta cepat.
BACA JUGA: Infrastruktur Bandara Kertajati 2,6 Triliun, Bandara Sepinggan 1,8 Triliun, Siapa Juara?
Jalur Emas Yang Tercecer
Sebetulnya, Jepang telah menyanggupi dengan anggaran yang disiapkan mampu menyediakan jalur kereta cepat hingga Surabaya, melintasi Kertajati.
Sayangnya, Jepang mungkin kalah dalam urusan “ha..hah..hi..hi” sehingga harus tersingkir dalam babak kualifikasi.
Akibatnya, rute yang semula disiapkan hingga Surabaya dipangkas hanya sampai Tegalluar, di pinggiran Bandung. Kertajati pun tercecer dari jalur emas tersebut.
Pilihan ini terbukti mahal dalam jangka panjang. Bandara yang seharusnya menjadi primadona malah terpinggirkan.
Aktivitas terbatas, rute internasional minim, dan maskapai pun enggan menjadikan Kertajati sebagai hub utama karena hambatan aksesibilitas.
Ironisnya, proyek sebesar ini sebenarnya telah melalui feasibility study (FS) yang matang. Dimana, di dalamnya sudah diperhitungkan bahwa kereta cepat akan menopang vitalitas bandara.
Lebih ironis lagi, pihak perbankan, termasuk tujuh bank daerah syariah yang tergabung dalam sindikasi pembiayaan, mulai dari Bank Jateng Syariah hingga Bank Sulselbar Syariah telah percaya dan berani mengucurkan dana.
Kepercayaan itu tentu berangkat dari kalkulasi bisnis yang kuat, termasuk harapan besar pada sinergi kereta cepat dan bandara.
Kini, jalan terbaik bukanlah menyesali masa lalu, tetapi mengembalikan rencana ke jalur semula.
Pemerintah, siapa pun yang memimpin, perlu berani membuka kembali pembahasan soal perpanjangan jalur kereta cepat hingga Surabaya dengan pemberhentian di Kertajati.
Bahkan jika rute itu dibangun bertahap, titik Kertajati semestinya menjadi prioritas integrasi.
Menteri Perhubungan yang kalah itu dijabat Budi Karya Sumadi juga telah merencanakan Bandara Kertajati di Majalengka, Jawa Barat menjadi salah satu opsi titik pemberhentian kereta cepat Jakarta-Surabaya. (Kompas, 19/10/2023)
Dengan begitu, Bandara Kertajati tidak lagi menjadi infrastruktur setengah jadi yang menunggu nasib.
Ia bisa kembali ke jalur strategisnya, sebagai gerbang udara Jawa Barat dan simpul logistik nasional yang efektif.
Konektivitas adalah kunci. Dan kunci itu, sejak awal, sudah digenggam. Tinggal berani atau tidak untuk menggunakannya kembali. ***