Siap-siap, 88 Persen Pengusaha Hotel di Indonesia akan Melakukan PHK Massal
KLIKNUSAE.com – Langit kelabu tengah menyelimuti industri perhotelan di Tanah Air. Gelombang pemutusan hubungan kerja atau PHK massal hingga ancaman tutupnya sejumlah hotel membayangi.
Kondisi ini terjadi, menyusul kebijakan penghematan anggaran yang diterapkan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Jika langkah ini berlanjut tanpa penyesuaian, industri yang menjadi tulang punggung sektor pariwisata ini bisa terjerembap lebih dalam.
“Semakin kesini, semakin sulit. Kalau okupansi hotel hanya 20 persen, pasti defisit. Ujung-ujungnya rugi, dan pengusaha tidak mungkin bisa bertahan lama,” kata Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Barat Dodi Ahmad Sofiandi ketika ditemui Kliknusae.com, Senin 24 Maret 2025.
Menurut Dodi, untuk bisa bertahan beberapa saat, salah satu cara jangka pendek yang bisa ditempuh adalah dengan mengurangi pekerja.
“Sekarang saja, beberapa hotel sudah mulai menghentikan pekerja casual. Ya, bagaimana lagi beban kita cukup berat. Belum listrik harus tetap dibayar, pajak dan yang lainnya,” lanjut Dodi.
Sementara itu, survei terbaru yang dilakukan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) bersama Horwath HTL juga mengungkap kekhawatiran tersebut.
Dari 726 pelaku industri perhotelan di 30 provinsi, sebanyak 88 persen memperkirakan akan melakukan PHK sebagai langkah terakhir untuk menekan biaya operasional.
“Tanpa ada perubahan kebijakan, PHK massal menjadi konsekuensi yang tak terhindarkan. Belum lagi potensi terganggunya rantai pasok industri,” ujar Ketua Litbang dan IT PHRI, Christy Megawati, dalam konferensi pers di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Sabtu, 22 Maret 2025.
Tak hanya itu, 78 persen responden pesimistis target pajak hotel tahun ini akan tercapai. Mereka memprediksi penurunan signifikan di sektor pariwisata, yang pada akhirnya menggerus perekonomian daerah yang bergantung pada wisatawan.
BACA JUGA: Dewan Kehormatan, Penasehat, dan Pakar PHRI Jabar Bertemu, Bahas Tantangan Industri Perhotelan
Defisit Operasional
Christy memperingatkan bahwa jika situasi ini dibiarkan berlarut-larut, banyak hotel akan mengalami defisit operasional. Pilihan pahit menutup hotel pun bisa menjadi kenyataan.
“Sekitar 83 persen pelaku usaha bahkan merasa tidak siap memulai tahun fiskal baru dengan kondisi seperti ini. Mereka mendesak pemerintah untuk segera turun tangan,” kata Christy.
Intervensi yang diharapkan berupa insentif pajak, bantuan finansial, serta promosi pariwisata yang lebih gencar. Langkah ini dinilai krusial untuk menopang sektor perhotelan agar tetap bertahan di tengah badai efisiensi.
Pemerintah memang tengah melakukan penghematan besar-besaran melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja APBN dan APBD.
Total anggaran yang dipangkas mencapai Rp306,69 triliun, terdiri dari Rp256,1 triliun pada belanja kementerian/lembaga serta Rp50,59 triliun pada transfer ke daerah.
Belanja operasional perkantoran, pemeliharaan, perjalanan dinas, hingga pengadaan alat dan mesin menjadi sasaran utama pemangkasan.
Presiden Prabowo juga meminta kepala daerah menekan kegiatan seremonial dan memangkas belanja perjalanan dinas hingga 50 persen.
Ketua Umum PHRI, Hariyadi B. Sukamdani, mengingatkan bahwa kebijakan ini berpotensi merugikan industri perhotelan hingga Rp24,5 triliun.
Dengan pangsa pasar pemerintah yang mencapai 40 persen bagi hotel bintang tiga hingga lima, dampaknya bakal terasa masif.
“Kami sudah menghitung potensi kehilangan pendapatan sekitar Rp24,5 triliun. Ini pukulan telak bagi industri perhotelan,” ujar Hariyadi dalam Musyawarah Nasional PHRI ke-18, Selasa, 11 Februari 2025.
Kini, semua mata tertuju pada langkah pemerintah selanjutnya. Apakah ada ruang untuk berkompromi, ataukah industri perhotelan harus bersiap menghadapi gelombang badai yang lebih besar? ***