Okupansi Hotel di Bandung dan Yogyakarta “Ambruk”, Disikat Homestay dan Kos-kosan
- Rabu, 01 Januari 2025 10:34 WIB
- Adhi
KLIKNUSAE.com – Dua kota besar yang selama ini menjadi destinasi unggulan, Bandung dan Yogyakarta membukukan catatan okupansi hotel yang tak seperti di harapkan.
Biasanya libur Natal dan Tahun Baru menjadi momentum untuk mendongkrak tingkat hunian kamar (okupansi).
Namun, pada libur Natal 2024 dan libur tahun baru 2025 kali ini, dua daerah ini belum mampu menembus tingkat okupansi hingga di angka 90 persen.
Memang, ada beberapa hotel yang keterisian kamar mencapai 100 %, tetapi jumlah tersebut tidak terlalu signifikan. Untuk mendapatkan angka tersebut, biasanya hanya di hotel-hotel tertentu saja.
Misalnya, di tengah-tengah kota atau di dekat objek-objek wisata favorit.
“Tahun ini, berat sekali. Selama libur Natal kemarin anjlok di angka rata-rata 45 persen,” kata Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Barat, Dodi Ahmad Sofiandi yang dihubungi Kliknusae.com, Selasa malam, 31 Desember 2024.
Menurut Dodi, banyak faktor yang menyebabkan okupansi hotel turun dratis. Diantaranya, banyak masyarakat lebih memilih menggunakan penginapan.
Seperti rumah warga, apartemen dan kosan yang tidak memiliki izin untuk hotel dan daya beli yang rendah.
“Terus terang saja ya, bukan kita iri. Ini ada ketidakadilan dari kebijakan pemerintah yang membiarkan kos-kosan, apartemen dan rumah warga yang berfungsi seperti hotel. Padahal, dalam aturannya itu di larang,” ungkap Dodi.
Perkiraan di Januari-Februari
Akibatnya, hotel yang membayar pajak cukup tinggi, belum lagi harus memperhatikan ratusan karyawan, sangat terkena dampaknya.
Sedangkan, laporan dari para GM hotel okupansi pada Januari-Februari 2025 mendatang diperkirakan di kisaran 30 persen saja.
“Saya juga sudah mendapatkan laporan dari teman-teman di hotel, Januari-Februari kondisinya sama, okupansi belum bergerak. Bahkan tak lebih dari 30 persen. Ini kan artinya hotel bisa defisit, ia harus merogoh tabungan agar hotel bisa tetap beroperasi,” jelas Dodi.
Ditambah lagi dengan kenaikan upah karyawan, maka tantangan yang dihadapi hotel mendatang tidaklah ringan.
“Beruntung, PPN 12 persen tidak berlaku di jasa perhotelan sehingga kita masih ada harapan untuk bisa survive,” lanjutnya.
BACA JUGA: Kuningan Menggeliat, Okupansi Hotel Bisa Capai 90 Persen di Libur Nataru
Persaingan tak seimbang
“Apalagi seperti apartemen, homestay dan kos-kosan kan cuma satu dua orang saja yang melayani. Apalagi dengan sistem digital seperti sekarang, tamu tinggal masuk. Dan kita tidak tahu, bagaimana sistem keamanan dan standar hospitality-nya,” sambung Dodi.
“Belum lagi, mereka menawarkan harga yang lebih kompetitif, sementara di sisi lain, tidak terkena pajak seperti halnya hotel,” sambung Dodi.
Dodi menjelaskan bahwa kondisi ini semakin memperberat beban operasional hotel yang sudah menghadapi berbagai tantangan pasca-pandemi.
“Kami melihat persaingan ini tidak seimbang. Pajak hotel, terutama pajak restoran dan hiburan yang berlaku di beberapa wilayah, menambah beban anggota kami. Sementara itu, akomodasi non-hotel seperti guest house justru bebas dari kewajiban tersebut,” tambahnya.
Ia juga menyoroti pentingnya regulasi yang adil untuk menciptakan ekosistem pariwisata yang sehat dan berkelanjutan.
“Kami meminta pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan terkait akomodasi non-hotel. Termasuk penerapan pajak yang seharusnya juga diberlakukan bagi mereka. Dengan demikian, ada keadilan dan persaingan yang sehat di sektor pariwisata,” ujarnya.
Meskipun demikian, Dodi mengapresiasi minat wisatawan yang tetap tinggi untuk berlibur di Jawa Barat.
“Destinasi wisata di Jawa Barat, seperti Bandung, Lembang, dan Pangandaran, masih menjadi favorit. Namun, kami berharap ada langkah konkret untuk mendukung sektor perhotelan agar tetap menjadi pilihan utama wisatawan,” tutupnya.
Nasib Hotel Jogja
Setali tiga uang, kondisi serupa juga di alami hotel-hotel di Yogyakarta. Kalau tahun-tahun sebelumnya mencatatkan tingkat hunian kamar yang cukupo baik. Sebaliknya, pada Libur Natal dan Tahun Baru 2025 jauh panggang dari api.
“Rata-rata pada Desember lalu mentok di angka 87,23 persen. Biasanya, tahun lalu (2023) kita bisa sampai di 90 persen ke atas. Bahkan ada banyak juga city hotel yang 100 persen, kali ini ambruk kita,” kata Ketua Deddy Pranowo Eryono, Ketua PHRI Yogyakarta kepada Kliknusae.com, kemarin.
Sepertinya yang terjadi di Bandung, menurut Deddy, wisatawan banyak memilih villa,homestay,kos-kosan harian, dan rumah dadakan yang disewakan.
“Ya, sangat terasa dampaknya untuk kami. Mereka tidak kena pajak akomodasi, sementara kami banyak sekali kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi. Ini yang harus menjadi perhatian pemerintah. Harus ada regulasi yang jelas, sehingga tidak ada pihak yang kemudian dirugikan,” kata Deddy.
Oleh sebab itu, penurunan tingkat okupansi hotel di Bandung dan Yogyakarta ini menjadi peringatan bagi semua pihak untuk terus menjaga keseimbangan dalam sektor pariwisata.
Baik dari sisi regulasi maupun inovasi layanan, demi mempertahankan daya saing industri pariwisata Jawa Barat maupun Yogyakarta, dua daerah yang selama ini menjadi etalase pariwisata tanah air. ***