Bung Karno Berpidato Pakai Bahasa Sunda, ‘Eta Anu Bereum…Gulung’
KLIKNUSAE.com – Bung Karno selaku proklamator sekaligus Presiden RI pertama sering pidado menggunakan Bahasa Sunda.
Tentu, yang dilakukan orang tersohor di dunia pada zamannya itu tak terlepas dari fragmen kehidupan selama menetap di Kota Bandung, Jawa Barat.
Ia kuliah, mendirikan Partai Nasional Indonesia, serta menemukan ideologi Marhaenisme di Paris van Java.
Hidup di Tatar Priangan banyak mempengaruhi sang Proklamator, terutama kemampuannya berbahasa Sunda.
Dalam pidato dan amanatnya di berbagai kegiatan saat menjadi presiden, istilah, kalimat hingga berbagai idiom bahasa Sunda kerap terlontar dari mulut Bung Besar.
Kemampuan Bung Karno berbahasa Sunda misalnya ditunjukkan saat ia berpidato dalam rapat raksasa di Alun-Alun Bandung pada 20 Mei 1963.
BACA JUGA: Kampung Sabin Cirebon, Bali Di Tanah Pasundan Seperti Ini Rasanya
Dalam pidato bertajuk Sosialisme Bukan Benda Jang Djatuh Dari Langit itu, Sukarno banyak memakai bahasa Sunda. Tengok saja saat ia membuka pidatonya sebelum mengucapkan salam kepada masyarakat.
“Sebagai biasa saja itu minta sembojan-sembojan, spandoek-spandoek digulung. Sudah saja batja semua,” serunya seperti dinukil Kliknusae.com dari artikel yang perah diterbitkan Pikiran-Rakyat.com dengan judul : “Kisah Bung Karno dan Bahasa Sunda, Sering Digunakan Sang Proklamator dalam Pidatonya”
“Gulung, gulung, gulung atau diturunkan. Eta, digulung, gulung, gulung, eta gulung terus, eta anu Bereum, gulung terus……….Tah kitu, eta anu bodas oge digulung. Henteu bisa digulung, dimiringkeun. Eta anu bodas oge dimiringkeun……..Tah kitu, benar, benar, benar,” ujar Bung Karno dalam Bahasa Sunda yang fasih.
Kalimat Pembuka Di Setiap Pidato
Kalimat-kalimat pembuka tersebut bertaburan istilah dan kata-kata Sunda macam eta,henteu, bereum, bodas, tah kitu.
Semua menunjukkan perintah kepada massa rapat raksasa itu guna menggulung atau memiringkan spanduk, semboyan berwarna merah atau putih sebelum Bung Karno memulai pidato.
BACA JUGA: Berburu Kuliner Legendaris Bandung, Dari Batagor Sampai Sate Jando
Bagian lain pidato itu juga dipenuhi kata dan kalimat-kalimat bahasa Sunda seperti ucapan terima kasihnya kepada massa.
Terutama, bagi yang telah menyaksikan upacara sidang paripurna MPRS yang menetapkannya sebagai presiden seumur hidup.
“Nuhun, nuhun, nuhun, dulur-dulur nuhun, nuhun (Terimakasih, saudara-saudara).”
Bung Karno paham betul massa rapat raksasa yang dihadapinya merupakan warga Bandung yang kesehariannya berbahasa Sunda.
Sebagai orator ulung, ia paham pesan-pesannya dengan sisipan bahasa ibu dari massa yang dihadapinya bakal lebih menarik dan dipahami.
Apalagi, ia juga memang pernah hidup di Bandung sehingga mengenal betul daerah dan masyarakatnya.
BACA JUGA: Ini Alasan Stasiun Kereta Api Cepat Tidak Di Kota Bandung
Untuk urusan kesamaan identitas wilayah ini, ia tak lupa menyisipkan dalam pidato tersebut.
“Aku Saudara-saudara meskipun sekarang berdiam di Djakarta, dulu aku berdiam di Bandung. Kapungkur teh Bung Karno urang Bandung (Aku Saudara-Saudara meskipun sekarang berdiam di Jakarta, dulu aku berdiam di Bandung. Dulu Bung Karno orang Bandung),” ucapnya.
Pesannya tentang sosialisme juga menggunakan bahasa Indonesia bercampur Sunda.
“Nah, ini lenjepkeun saudara-saudara, lenjepkeun, lenjepkeun. Ulah ngira sosialisme datang lamun urang ngaduruk mobil,” katanya.
BACA JUGA: Wakil Wali Kota Bandung Yana Jajal Lapangan Gateball Kamboti
“Ulah ngira sosialisme datang lamun urang metjahkeun djendela (Nah, dengarkan dan pahami saudara-saudara, jangan kira sosialisme datang kalau kita membakar mobil dan memecahkan jendela,” sambungnya memberikan semangat.
Tak hanya pidato di Bandung, Sukarno kerap juga menyitir istilah Sunda dalam amanat-amanatnya di tempat dan kegiatan lain.
Konferensi Asia Afrika I
Contohnya dalam amanat indoktrinasi Presiden Sukarno dalam rapat umum menyongsong dasawarsa Konferensi Asia Afrika I dan Gerakan Kebersihan Ibukota di Istora Bung Karno, Senayan, Jakarta pada 22 Februari 1965.
Kegiatan itu bertajuk Kebersihan Adalah Kepribadian Nasional Indonesia.
BACA JUGA :Potensi Ekraf Kota Bandung Mendapat Dukungan Penuh Kemanparekraf
“Ajo ini, mahasiswa-mahasiswa, ada mahasiswa sastera di sini? Ha, ada? Aja henteu? (Ayo ini, mahasiswa-mahasiswa, ada mahasiswa sastra di sini? Ha, ada? Ada tidak),” tanya Sukarno kepada peserta rapat.
Pertanyaan, “aya henteu” tentunya tak asing bagi mereka yang bisa dan tahu berbahasa Sunda.
Di tempat yang sama pada peringatan Hari Buruh 1 Mei 1964 bertajuk Kapitalisme Dan Imperialisme Adalah Djahat, Bung Besar tak ketinggalan menggunakan istilah Sunda lain, teungteuingeun.
Istilah yang bermakna keterlaluan atau tega tersebut dipakai Sukarno menggambarkan perilaku salah satu majalah di Amerika Serikat bernama Wisper yang memajang fotonya berhadapan dengan foto wanita telanjang.
Padahal kedua foto itu berbeda, namun ditumpangkan bersama di halaman depan guna merusak nama baik Bung Karno. ***