Dilema Pengusaha Hotel, Antara Relaksasi Pajak dan Sidak KPK
BANDUNG, Kliknusae.com – Pengusaha hotel dan restoran sedang menghadapi dilema. Ibarat sudah jatuh tertimpah tangga.
Belum selesai upaya untuk bangkit dari keterpurukan akibat pandemik covid-19, kini masih harus menghadapi regulasi yang dinilai kurang “bersahabat”.
Salah satunya adalah terkait pajak. Alih-alih membayar pajak, untuk bisa menghidupi karyawan atau operasional hotel saja sangat sulit.
” Selama ini, saat normal kami tidak pernah lupa bayar pajak. Tapi untuk saat ini, karena Covid-19, mau bayar pajak pakai apa? Sekarang pemasukan sedikit pengeluaran operasional rutin,tidak seimbang. Ini yang harus dipikirkan juga, sebelum menerapkan kebijakan,” kata Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Yogyakarta Deddy Pranowo Ernowo Ketika dihubungi Kliknusae.com, Kamis pagi (15/4/2021).
Deddy dimintai tanggapannya terkait sidak yang dilakukan Satuan Tugas Koordinasi Supervisi (Korsup) Pencegahan wilayah V KPK terhadap hotel yang menunda membayar pajak.
Bahkan Pemda dan institusi pemberantasan korupsi tersebut tak segan-segan memasang sepanduk seperti yang terjadi di Hotel Inaya Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa tenggara Timur (NTT), belum lama ini.
Menurut Deddy, kebijakan-kebijakan pemerintah yang berubah mendadak, semisal, harus bayar penuh Tunjangan Hari Raya (THR), pelarangan orang keluar kota padahal hotel hidup bergantung dari pergerakan manusia, sangat menguras pikiran.
“Ditambah lagi royalti lagu-lagu yang belum jelas. Ini semua menguras pikiran kita yang sekarang sekedar untuk bertahan saja,” tambah Deddy.
Owner Hotel Hang Tua Padang, Sumatera Barat Yusran Maulana juga menyatakan hal serupa. Semestinya pemerintah bisa memberikan kebijakan yang lebih lentur terhadap pengusaha hotel dan restoran disaat sulit seperti sekarang.
“Kalau yang dapat penundaan pembayaran pajak (relaksasi) seharusnya tidak disidak ya. Tapi ya, beginilah nasib sektor usaha hotel,” kata Yusran-yang juga Sekjen DPP PHRI ini.
Dibagian lain, Ketua Riung Priangan Kota Bandung Arief Bonafianto sangat mengharapkan pemerintah kembali memberikan stimulus untuk keringanan pembayaran pajak.
“Karena penundaan pembayaran pajak ini sangat membantu operasional hotel. Paling tidak bisa meringankan beban ditengah tamu yang masih sepi seperti sekarang,” katanya.
Sebagaimana diketahui, sebelumnya, hitung-hitungan Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Pusat memprediksi ada sekitar 125 hingga 150 restoran di wilayah DKI Jakarta tutup per bulan di tengah pandemi Covid-19.
Berdasarkan survei di bulan September 2020, PHRI mencatat 1.033 restoran gulung tikar dan memilih untuk menutup permanen usahanya saat pandemi virus corona.
Menuju Januari 2021, jumlah restoran yang tutup permanen diperkirakan mencapai 600 unit.
Belakangan, Ketua BPD Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DKI Jakarta Sutrisno Iwantono meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk memberikan relaksasi pajak bagi pelaku usaha perhotelan dan restoran.
Instrumen relaksasi itu menyasar pada penghapusan Pajak Hotel, Pajak Restoran dan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2).
Alasanya, penjualan sektor usaha perhotelan dan restoran selama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hanya menyentuh di kisaran angka 30 persen. Penjualan itu hanya dapat menutup biaya operasional.
” Kita minta sekali lagi pajak restoran, pajak hotel, Pb1 itu, walaupun dipungut bisa tidak disetor ke Pemda DKI tetapi digunakan untuk menolong cash flow dari usaha tersebut dalam hal ini hotel dan restoran,” kata Sutrisno dalamsebuah konferensi pers virtual, beberapa waktu lalu.
Selain itu, Sutrisno meminta, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membebaskan kewajiban pembayaran PBB untuk hotel dan restoran independen. Di samping pengurangan pembayaran biaya listrik dan air.
“Kalau bisa dibebaskan dulu dalam artian kita tidak menyetor dulu kepada pemerintah karena selama ini kita sudah menyetor ini, dibebaskan dulu untuk memperbaiki cash flow,” tandasnya. (adh)