Sineas Indonesia Harus Ubah Model Bisnis agar Tetap Bertahan
JAKARTA, Kliknusae.com – Pandemi telah merontohkan bisnis bioskop di Indonesia. Meski telah diperbolehkan buka kembali dengan protokol kesehatan, namun okupansi penonton layar lebar tetap belum mampu mendongkrak pendapatan.
Kondisi ini tentu sangat berpengaruh terhadap industri perfilman Indonesia. Bahkan jika tidak segera melakukan terobosan atau inovasi baru, bisa saja film Indonesia hilang dari peredaran.
Pengamat film yang juga Anggota Komite Film Dewan Kesenian Jakarta, Hikmat Darmawan pun menyarankan agar sineas film Indonesia mengubah model bisnis.
Ini penting dilakukan agar tidak lagi bergantung pada bioskop dan mencoba konsep film berbiaya produksi rendah, untuk kembali menggairahkan layar lebar di tengah pandemi COVID-19.
Hikmat Darmawan mengatakan, saat ini sumber penghasilan terbesar pelaku industri film masih berasal dari penjualan tiket di bioskop.
Namun karena pandemi banyak bioskop yang harus beroperasi dengan sejumlah pembatasan yang berakibat pada penjualan tiket.
“Mau tidak mau bukan sekadar bertahan atau berharap tapi harus mengubah paradigma maupun model bisnisnya,” ujarnya Senin, 22 Februari 2021 seperti dilansir Antaranews.
Paradigmanya adalah tidak bisa lagi mengandalkan bioskop, kemudian dilemanya lantas apa yang okupansi setara dengan arus pendapatan dari pembelian karcis.
Layanan Over The Top
“Yang tersedia sebagai platform utama di pandemi adalah OTT (layanan over the top),” lanjut Hikmat.
Namun Hikmat mengatakan bahwa monetisasi layanan streaming digital tidak sebesar dibandingkan dengan penjualan tiket bioskop.
Untuk itu, dia mengatakan bahwa pembuat film harus menulis ulang model bisnisnya.
“Tidak lagi mengandalkan pada big budget box office movie. Apalagi untuk kasus Indonesia. Kalau Hollywood masih punya infrastruktur untuk memproduksi film big budget box office movie walaupun ekspetasi penonton jatuh. Mereka punya infrastruktur yang kokoh untuk memproduksi film seperti itu,” ujarnya
Hikmat melanjutkan bahwa saat ini memproduksi film dengan biaya produksi rendah menjadi pilihan yang wajar bagi pembuat film.
Meskipun menurut dia bahwa hal itu juga akan berpengaruh dari segi estetika dan hasil dari film yang diproduksi.
“Menurut saya singkatnya model pembuatan film berbiaya kecil yang ceritanya non fantasi tapi lebih dekat dengan pengalaman manusia sehari-hari, drama, itu mungkin akan lebih rasional dan akan lebih banyak dimuat,” tuturnya.
Dia juga mengatakan bahwa saat ini produksi film animasi juga menjadi peluang baru yang bisa dimanfaatkan oleh pembuat film untuk mengakali situasi pandemi dengan adanya pembatasan.
“Kedua mungkin adalah kalau ada pebisnis yang jeli matanya adalah apa yang tidak membutuhkan produksi terlalu banyak, yaitu animasi,” sambung Hikmat.
Hikmat menambahkan bisnis lain yang mungkin menarik entah bagaimana monetasinya adalah restorasi film lama.
Keempat variabel yang harus diperhitungkan sekarang adalah tidak lagi mengandalkan pada pasar lokal saja terutama kalau hanya bioskop.”
Hikmat mengatakan film produksi Indonesia memiliki potensi untuk menjangkau pasar internasional.
Namun untuk memasarkan film Indonesia ke masyarakat dunia, menurut Hikmat, perlu adanya strategi pemasaran yang tepat.
“Yang diperlukan strategi marketing untuk benar-benar bisa menggarap pasar internasional itu. Jadi bukan hanya sekadar produk atau pendekatan estetik. Ketemu enggak model distribusinya,” imbuhnya. (*/adh)
Sumber: Antaranews