Kita Kehilangan Kontrol Karena Pelonggaran
Oleh : Adhi S Wijaya
HARI-hari libur panjang yang baru saja dilewati meninggalkan beberapa catatan penting.
Betapa, kita sebetulnya belum baik-baik saja. Satuan Tugas (Satgas) Covid-19 yang melakukan gelar operasi Rapid Test masih banyak menemukan masyarakat yang berlibur dengan hasil reaktif.
Artinya, pandemi masih bisa meluas karena hilangnya control dan kesadaran masyarakat ketika pintu pelonggaran dibuka.
Seperti berada di persimpangan. Orang ingin melepaskan penat setelah hampir satu tahun “terkungkung” di rumah, namun di sisi lain, di luar sana sewaktu-waktu makhluk tak terlihat itu bisa merengut nyawa, siapa pun.
Memang tak dipungkiri, kita juga dihadapan pada persoalan, bagaimana bisa bertahan hidup. Pebisnis, khususnya di bidang pariwisata, merupakan sektor yang paling merasakan dampak dari pandemi ini.
Maka, pilihannya pun sama sulitnya, mengubah bisnis mengundang orang untuk berkumpul, menjadi mengamankan orang berkerumun.
Dua kutub ini yang terkadang sering “bertentangan” dengan kebijakan. Regulator memiliki target menekan sekecil mungkin terjadinya pergumulan massa, sementara pengelola destinasi menghendaki pengunjung terus mengalir agar perusahaan bisa tetap survive.
Tapi apa pun itu, ada baiknya kita menengok ke belakang bahwa pandemi corona (Covid-19), bukanlah “tamu” yang baru hadir hari ini, sehingga seharusnya kita bisa belajar dari pengalaman masa lalu untuk melewatinya.
Tercatat, wabah Flu Spanyol pernah merenggut 50 juta jiwa di penjuru dunia pada 1918 silam.
Di Amerika Serikat (AS) saja, pandemi ini merenggut hampir 700 ribu jiwa, kalah itu.
Sayangnya ketika virus ini melambat di akhir 1918, beberapa wilayah AS justru mengendurkan praktik social distancing, salah satunya San Francisco.
Warga San Fransisco pun mulai beraktivitas normal seperti sedia kala menyusul libur Natal dan Tahun Baru.
Alhasil, yang terjadi justru lonjakan ganda pasien positif. Hingga 1919 Flu Spanyol telah menyerang 45 ribu jiwa di wilayah zona merah tersebut.
Ada pesan menarik dari Flu Spanyol, wabah ini mengajarkan kita bagaimana melawan pandemi. Para ahli sepakat agar dunia jangan terlena dengan penurunan kasus.
Social distancing tetap perlu dijaga untuk antisipasi gelombang kedua menghadapi suatu pandemi.
Sekitar dua per tiga kematian Flu Spanyol adalah dewasa produktif berumur 18 hingga 50 tahun. Dengan kata lain wabah tidak mengenal usia.
Saat ini dunia sedang berlomba menemukan vaksin corona. Selama itu maka tidak ada pilihan, kecuali sosial distancing sebagai salah satu cara memutus peredaran wabah yang efektif.
Tentu juga, harus diiringi penegakan disiplin semua pihak. Pemerintah, pengusaha, dan masyarakat itu sendiri. (*)