Bali Terdepan Dalam Sertifikasi CHSE Standard Usaha Pariwisata
“Mulai dari kelengkapan perijinan usaha misalnya, bagi mereka yang tidak memiliki ijin tersebut maka pengajuan permohonan verifikasinya akan ditolak atau tidak dilayani,” kata Swabawa.
Lalu berikutnya mereka juga telah mulai memikirkan hal-hal bersifat preventif, adaptif dan protektif.
“Kesadaran seperti ini sangat tepat dijadikan momentum untuk mewujudkan pariwisata yang berkualitas” ungkap pria yang gemar menciptakan konsep-konsep menarik dalam bidang kepariwisataan ini.
Hal lain yang juga menjadi temuan pada kegiatan verifikasi yang dipimpinnya di wilayah Jimbaran, Bali Selasa, (08/09/2020) adalah adanya kelemahan pemahaman pengelola usaha akomodasi tentang standar keselamatan kerja dan bangunan.
Seperti alat pemadam kebakaran yang diletakkan di dalam ruangan villa dan bukan di area outdoor, penataan ruangan yang mengganggu akses mitigasi kebencanaan atau kondisi gawat darurat kesehatan hingga tempat sampah yang ukurannya lebih tinggi dari meja kerja di dapur.
“Bahkan ada yang tidak ikut asosiasi sama sekali, kami tidak memaksa mereka harus ikut asosiasi namun dengan tidak ikut sertanya mereka dalam salah satu wadah kepariwisataan justru akan merugikan pihak mereka sendiri,” ujarnya.
Industri ini butuh networking, pariwisata ini juga industri yang fragile jadi butuh informasi dan kerjasama yang kuat saling dukung sesama pelaku usaha pariwisata.
“Jangan sampai karena sifat individualistis tersebut mereka tidak tahu wawasan termasuk pariwisata berbasis budaya yang menjadi ikonnya di Bali.” ujar Swabawa, yang juga Wakil Ketua DPD IHGMA Bali.
Dalam melakukan kegiatan verifikasi, lanjut Swabawa, pihaknya juga memberikan pembinaan serta membangun kesadaran pemilik usaha dan pengelola usaha terkait standar kepariwisataan yang ada di Bali.