Food Heritage Itu Berasal Dari Desa Wisata Hanjeli
Tadinya, Asep adalah pekerja migran di Arab Saudi. Kembali pulang ke kampung halaman pada tahun 2009, karena tergerak ingin membangkitkan komoditi lokal.
“Memang awalnya berat ya. Warga disini sempat kehilangan kepercayaan, ketika produk pertanian mereka di panen, bingung harus menjual kemana. Dulu kan sempat ada sosialiasi warga diminta tanaman ini dan itu, setelahnya tidak ada solusi,” kata Asep mengawali perbincangan dengan Kliknusae.com, Minggu (12/07/2020).
Untuk membangun kembali kepercayaaan warga, Asep pun memutuskan untuk melakukan pendekatan secara door to door.
“Dulu kan sempat ada program dari pemerintah. Semua petani diminta menanam komodoti seperti kedelai, misalnya. Tapi setelah panen, tidak ada yang mau beli. Nah, trauma ini yang masih ada melekat di sebagian petani. Makanya, saya memulainya dengan tidak sporadis,” ujar Asep.
Dengan segala upaya untuk menyakinkan petani, Asep pun menggerakkan warga tak hanya untuk menanam hanjeli, tapi juga memperkenalkan program yang ia sebut “Pirus”, singkatan dari “pipir imah diurus”.
“Maksudnya, lahan-lahan menganggur di sekitar rumah perlu dimanfaatkan untuk semakin meningkatkan ketahanan pangan warga desa, sehingga melengkapi budidaya hanjeli sebagai alternatif beras,” ujarnya.
Gerakan “Pirus” ini mendorong warga untuk menanam berbagai macam sayur-mayur, dengan metode polybag, hidroponik, dsb.
“Pirus” lantas dikembangkan lagi menjadi program “Budiksamber” (budidaya ikan dan sayuran dalam ember).
“Dengan begitu, konsep ketahanan pangan untuk warga Waluran Mandiri menjadi semakin kokoh. Ada bahan makanan pokok dan berbagai produk turunannya, yakni budidaya hanjeli. Ada sayur-mayur, dan ada ikan,” paparnya.
(adhi/bersambung)