25 Dokter Meninggal Akibat Virus Corona, Dekan FKUI: Indonesia Terlambat Antisipasi Virus ini

Kliknusae – Virus Corona sudah merenggut nyawa para pejuang kesehatan di Indonesia.
Para tenaga medis, baik dokter maupun perawat yang berada di garda terdepan harus kehilangan nyawa.

Data para dokter dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sedikitnya sudah ada sekitar 25 dokter yang wafat.

Umumnya, mereka bukanlah dokter yang langsung menangani pasien Covid-19 di ruang isolasi. Tapi para dokter pelayanan (front liners) yang membuka praktik pribadi atau melayani pasien umum.

Misalnya ada Dokter Spesialis THT, Dokter Spesialis Ortopedi, Dokter Gigi, dan dokter umum.

Mereka tentu tak langsung menangani pasien Covid-19 di ruang isolasi tapi bertemu pasien secara tak sengaja di ruang praktik mereka yang ternyata sudah tertular Covid-19. Baik tanpa gejala maupun dengan gejala tapi tak disadari.

Baca Juga: Dokter Perawat Menhub Budi Karya Sumadi Meninggal Karena Covid-19

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof. Dr. dr. H. Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, MMB menilai situasi ini sebagai situasi yang terlambat.

Sesama rekan sejawat, ia melihat, Indonesia terlambat mengantisipasi virus ini saat sudah masuk ke Tanah Air.

“Memang Indonesia termasuk terlambat. Saya juga nggak mau salahkan para dokter. Kalau kami dan saya pribadi sejak awal muncul kasus itu di Wuhan, Tiongkok, sudah menggelar berbagai seminar edukasi sejak Januari dan sudah mengantisipasi praktik dengan segala Alat Pelindung Diri (APD) dasar. Tapi kan memang banyak pasien saat ini yang tanpa gejala atau Orang Tanpa Gejala (OTG),” papar dr. Ari.

Kenapa bisa dikatakan terlambat? dr. Ari mengungkapkan, sejak Januari-Februari, Covid-19 selalu diumumkan hasilnya negatif di Indonesia. Karena itu, Sense of crisis dan awareness akan Covid-19 itu kurang. Padahal bisa saja virus itu sudah masuk namun belum terdeteksi.

“Baru mulai ngeh saat Presiden umumkan pasien 1 dan 2 itu yang di Depok saat awal-awal Maret. Jadi memang terlambat,” tambahnya.

Sehingga para dokter yang berpraktik, kata dia, kemungkinan sudah banyak bertemu secara tak sengaja dengan pasien tanpa gejala.

Barulah setelah ada beberapa dokter yang sakit dengan gejala virus corona dan dirawat sebagai Pasien Dalam Pengawasan (PDP) membuat rekan sejawat sadar bahwa Covid-19 sudah ada dekat.

Menurut dr. Ari, data itu memang belum ada perbandingannya. Hanya saja kondisi Indonesia mirip dengan Italia yang menghadapi krisis dengan angka kematian lebih tinggi dibanding Tiongkok, Korea Selatan, dan Singapura.

“Memang belum ada ya data perbandingan. Tapi kalau dilihat dari Korea Selatan, itu baru ada 1 dokter meninggal saja katanya pemerintahnya merasa bersalah sekali. Apalagi kita di Indonesia. Kondisinya kalau kita mirip dengan Italia lah,” katanya.

Sejumlah dokter yang sudah wafat sejak pandemi Covid-19 ini masuk ke Indonesia adalah Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa dr. Laurentius P Sp.KJ, Dokter Spesialis Paru dr. Ucok Martin, Sp.P, Dokter Spesialis Saraf dr. Hadio Ali, Sp.S.

Selain itu, Dokter Spesialis THT dr. Adi Mitsa Putra, Sp.THT, Dokter Spesialis Bedah dr. Djoko Sudodjoko, Sp.B, Satgas Tim Penanggulangan Covid-19 dr. Toni Daniel Silltonga, Guru Besar Epidemologi Universitas Indonesia Prof. dr. Bambang Sutrisna MHSc, dr. H. Efrizal Syamsuddin, MM, Guru Besar Farmakologi FK Universitas Gajah Mada Prof. Iwan Dwiprahasto, dr. Exsenveny Lalopua. M.Kes, dr. Bartholomeus BSK Wibowo, dr. Ratih Purwarini, dr. Jeanne PMR Winaktu. Sp.BS.

Terbaru adalah Dr. dr. Lukman Shebubakar, Sp.OT(K), Ph.D dari RS Premier Bintaro.

Sebelumnya juga ada dari rumah sakit yang sama adalah Dokter Spesialis Saraf dr. Hadio Ali, Sp.S. Dan juga perawat dari rumah sakit yang sama yakni Setia Ariwibowo. (rb)

 

Share this Post:

Berita Terkait

Berita Lainnya