Raego, Tarian dengan Paduan Suara Tertua di Nusantara
Raego masih dianggap hanya untuk para totuangata atau orang yang sudah berusia lanjut. Pengetahuan dan keterampilan untuk melakukan Raego menjadi generasi yang terbatas. Apalagi penyebaran informasi dan ilmu dari tarian ini tidak merata di semua lapisan masyarakat. Dampaknya, jumlah dari para pelaku Raego semakin berkurang.
Salah satu yang dapat menjadi dokumen, Raego ini menjadi inspirasi dalam sebuah film yang berjudul “Mountain Song” yang terpilih sebagai The Most Promising Project di Makassar SEAscreen Academy 2016. Film ini disutradarai Yusuf Radjamuda yang terkesan dengan kebiasaan warga Pipikoro, Kabupaten Sigi. Menurutnya, masyarakat di sana selalu bersyukur dalam berbagai kondisi, tidak hanya kebahagiaan tapi juga kesedihan, seperti gagal panen dan kematian. Mereka tetap mengadakan Raego.
Tampilan seni Raego diisi kelompok paduan suara yang terdiri dari lelaki dan perempuan. Dalam sejarahnya, pasangan lelaki dan perempuan dalam Raego bukanlah sepasang suami istri, maka lelaki yang menjadi pasangannya dalam tarian tersebut harus menyediakan seserahan adat kepada suami atau keluarga dari pasangan dalam Raego.
Sambil menari mereka melantunkan syair-syair dengan membentuk lingkaran dan tangan saling merangkul, membentuk sebuah simpul yang disimbolkan kebersamaan dalam menghadapai situasi apapun, bahagia dan duka. Perempuan akan dirangkul tangan kiri laki-laki yang menjadi pasangan. Sementara tangan kanan lelaki memegang parang yang dililitkan di pinggang sebelah kiri.