H Ama Soewarma, Mengabdi Di Kepanduan Hingga Akhir Hayat
Ada Sunda, Jawa, Maluku, Sumatera, dan banyak lagi. Agama yang dianut para anggota kontingen Kepanduan Hindia-Belanda juga bermacam-macam. Ada yang beragama Kristen (Protestan), Islam, dan Katholik.
Tetapi walaupun beragama ras, suku, dan agama, dan pastinya beragam latar belakang ekonomi keluarganya, semuanya bisa menyatu dalam kontingen Kepanduan Hindia-Belanda.
Mereka bahkan membawa sendiri peralatan untuk membangun rumah pendopo tradisional Indonesia di Belanda.
Ketika upacara pembukaan pun, kontingen Hindia-Belanda menyerahkan kenang-kenangan berupa keris Majapahit kepada Bapak Pandu Sedunia, Lord Baden-Powell.
Kontingen Kepanduan Hindia-Belanda berangkat dari Pelabuhan Tanjung Priok, Batavia (sekarang Jakarta), dengan menumpang kapal MS Dempo. Ada kisah unik yang diceritakan Soewarma ketika naik kapal itu.
Sebelumnya, untuk mencari biaya agar dapat berangkat ke Belanda, Soewarma melakukan banyak hal. Dia sempat berjualan garam di depan rumahnya.
Otak dagangnya sudah bekerja. Untuk membedakan dengan garam yang dijual di pasar, dia membuat tulisan “Garam Bagoes”, walaupun sebenarnya jenis garamnya sama saja dengan di pasar.
Dia juga mengemas dagangannya dengan baik dan melayani pembeli dengan ramah, sehingga garam
Bukan hanya itu. Saat itu, Dinas Pos dan Telegraf Hindia-Belanda juga menerbitkan prangko untuk menyambut Jambore Kepanduan Sedunia ke-5 itu.
Terdiri dari dua keping prangko, masing-masing berharga 7 ½ sen dan 12 ½ sen, prangko itu memang diterbitkan juga untuk mengumpulkan dana yang akan digunakan memberangkatkan kontingen Kepanduan Hindia-Belanda.
Soewarma pun ikut menjualnya, dan hasilnya digunakan untuk biaya keberangkatannya bersama teman-temannya.
Namun, rupanya biaya yang dimiliki Soewarma masih kurang. Maka dia menemui kepala koki di kapal laut MS Dempo.