Sitiwinangun, Desa Wisata Penghasil Gerabah Kelas Dunia
Klik nusae – Sitiwinangun merupakan sebuah desa yang berada dalam wilayah administratif Kecamatan Jamblang Kabupaten Cirebon. Nama Sitiwinangun diambil dari dua kata yang bermakna “Siti” artinya tanah dan “Winangun” artinya dibangun. Jadi disimpulkan, tanah yang dibangun untuk dibuat sesuatu sehingga berguna bagi kehidupan. Makna ini sesuai dengan kehidupan penduduk di desa ini yang terkenal sebagai perajin gerabah.
Berdirinya Desa Sitiwinangun juga tak lepas dari penyebaran agama Islam di daerah Padukuhan Kebagusan. Sejarah mencatat pada abad ke 15 datang seorang ulama bernama Ki Mas Ratana Gumilang atau disebut Syekh Dinureja yang menyebarkan agama Islam di Padukuhan Kebagusan.
Syekh Dinureja menyebarkan Islam menggunakan pendekatan budaya kerajinan gerabah pada masyarakat di Padukuhan Kebagusan. Selain diajarkan agama Islam juga diajarkan keterampilan membuat gerabah. Hingga akhirnya membuat gerabah menjadi mata pencaharian penduduk Padukuhan Kebagusan pada waktu itu.
Semenjak kedatangan Syekh Dinureja, kerajinan gerabah semakin berkembang dan meluas. Penduduk yang membuat kerajinan gerabah pun bertamabah. Maka dari itu, Padukuhan Kebagusan beliau beri nama Sitiwinangun berdasarkan kearifan dan budaya lokal masyarakat setempat. Sampai kini, beberapa peninggalan Syekh Dinureja masih terjaga. Peninggalannya berupa kitab suci Alqur’an, Masjid Buyut Kebagusan dan kerajinan gerabah itu sendiri.
Desa yang berjarak sekitar 15 kilometer ke arah barat Kota Cirebon tersebut, sebenarnya sudah ratusan tahun kondang sebagai sentra pembuatan gerabah. Jauh sebelum Cirebon dikenal dengan batik atau industri rotannya.
Menurut Kuwu Desa Sitiwinangun Ratua Brata Menggala, gerabah yang dihasilkan sudah diakui memiliki bahan yang kuat dan tidak mudah pecah jika dibakar di atas suhu yang tinggi. Bahannya berupa tanah liat yang diambil di area bekas sawah di sekitar desa tersebut.
Sementara itu, seorang maestro pembuat gerabah di desa tersebut bernama Miskatna, berusia 70 tahun mengatakan, pembuatan gerabah di Desa Sitiwinangun awalnya menggunakan tungku pembakaran secara tradisional dan alat dari bambu. Ia pun mengaku sudah belajar membuat gerabah sejak SD.
“Dulu semua pakai cara dan alat tradisional dari bambu, lalu dibakar juga dengan cara tradisional turun-temurun. Namun agak lama pengerjaannya, satu gerabah bisa seminggu sampai sebulan tergantung bentuk dan motif. Terus penjemurannya juga tergantung pada panas terik matahari,” jelas Miskatna saat ditemui Klik nusae di rumahnya beberapa waktu lalu.
Berbekal potensi kerajinan gerabah yang turun-temurun itu, Pemerintah Kabupaten Cirebon pun menetapkan Sitiwinangun sebagai desa wisata berbasis budaya. Peresmiannya dilakukan Sultan Keraton Kasepuhan Cirebon, PRA Arief Natadiningrat, pada tanggal 22 November 2018.
Selain belanja aneka macam jenis produk gerabah, wisatawan diajak belajar membuat produk gerabah dalam bentuk sederhana seperti topeng, asbak, ataupun gantungan kunci. Ada dua paket wisata yang ditawarkan di Desa Sitiwinangun. Paket pertama hanya berkeliling ke sejumlah perajin dan melihat proses pembuatan gerabah. Sedangkan paket kedua, berkeliling kemudian diakhiri dengan belajar membuat gerabah.*** (IG)