Kaum Milenial Masih Bimbang Masuk UMKM
Klik nusae – Diakui atau tidak Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang sudah berjalan berpuluh tahun di Indonsia telah diadopsi secara universal karena dampak yang diberikan ke setiap aspek kehidupan. Bahkan UMKM menjadi penyedia lapangan pekerjaan nomor satu.
Pertanyaannya kemudian adalah sejauh mana kalangan muda (kaum milineal) di Indonesia benar-benar memiliki keinginan kuat untuk terjun ke dunia usaha ini. Termasuk problem yang dihadapi ketika memutuskan menjadi seorang entrepreneur.
Dialog inilah yang berjalan cukup menarik dalam Focus Group Dicussion “10 Trend UMKM di 2019” Indonesian Council for Small Business (ICSB) yang berlangsung di aula Laboratorium Manajemen Fakultas Ekonomi (LMFE) Universitas Padjajaran Jalan Hayam Wuruk No 8,Citarum Kota Bandung,Sabtu (26/1/2019).
ICSB adalah sebuah organisasi nonprofit yang selama ini membantu pengembangan kewirausahaan di tanah air bersama empat pilar pendukungnya, yaitu akademisi, peneliti, pemerintah dan pelaku bisnis.
Acara ini dihadiri pelaku usaha se-Bandung Raya,Dinas UMKM Cimahi,Kota Bandung,Bandung Barat dan Kabupaten Bandung. Hadir juga dalam kesempatan dialog tersebut Ketua PHRI Jawa Barat Herman Muchtar, pengusaha sukses Perry Tristianto-tokoh pertama kali yang mengenalkan Factory Outlet di Kota Bandung.
Isu menarik yang mengemuka dalam diskusi ini adalah ternyata banyak potensi kaum muda di Bandung dan Jawa Barat secara umum yang tertarik terjun ke UMKM. Hanya saja mereka menjadi bimbang,darimana harus memulai dan resiko apa yang bakal dihadapi ketika bisnis yang dijalankan mandek.
“Selama ini banyak kaum muda yang punya keyakinan untuk terjun ke dunia usaha. Dalam ruang lingkup saya saja,ada hampir 30 orang, ketika ditanya mereka semua menjawab pengen jadi pengusaha,” kata Puguh Yoga Wijaya, pengusaha muda yang sukses dengan Bakso Enggal-nya.
Menurut Yoga,saat ini perubahan telah terjadi begitu cepat. Banyak kalangan muda yang dulu hanya berfikir berkerja,sekarang mulai melirik dundia usaha.
“Aspek milineal itu mulai bergeser,bagaimana sih kita bisa membuat sebuah produk yang memiliki impact ekonomi. Problemnya adalah ketika keyakinan ini sudah ada, ternyata eko sistemnya yang belum siap,”lanjut Puguh.
Ia mencontohkan, saat dirinya dibangku kuliah ada pendampingan (mentoring) dari mereka memang sudah berhasil dalam menjalankan bisnis usahanya. Cara ini,sebetulnya bisa dilakukan terhadap para milenial saat memutuskan terjun ke dunia usaha.
“Karena salama ini mereka bimbang. Apalagi dengan begitu terbukanya akses informasi sehingga juga semakin banyak pilihan. Oleh sebab itu, menurut saya memang harus ada pendamping supaya mereka maju lurus,bukan maju mundur dalam memutuskan menjadi pengusaha,” lanjut Puguh.
Ditambahkan Puguh, bahwa mentoring menjadi sangat dibutuhkan sebagai “kaca mata kuda” bagi para kaum milineal untuk terus maju.
“Oke, para milineal ini boleh melihat competitor,tapi jadikan itu hanya sebagai salah satu kekuatan atau melihat bahwa dia berada di posisi yang mana. Bukan sebagai followers,” ungjap Puguh.
Satu hal yang juga harus menjadi perhatian adalah soal pajak. Biasanya, mereka kaum muda yang baru terjun ke dunia usaha,tidak berpikir pajak. Padahal hal ini justru bisa menjadi boomerang ketika usaha sudah menjadi besar, polemic baru akan muncul.
“Mereka kemudian menjadi pusing. Oleh sebab itu, soal pajak ini juga harus disisipkan sejak awal mereka bergerak,” pintanya.
Sementara itu Dian Sadeli,peneliti muda dari Universitas Parahyangan menguatkan bahwa sebenarnya mahasiswa/mahasiswi semester 1-2 sudah memiliki usaha yang berkembang. Artinya generasi muda juga membutuhkan pendampingan melalui inkubator bisnis.
“Memang sangat perlu memberikan bantuan dalam pendampingan keuangan, perpajakan, pembukuan. Kemajuan pengelolaan keuangan menjadi sangat membantu jika dapat dipahami oleh UMKM, seperti FinTech,misalnya,” papar Dian.
(adh)