Ritual Suku Ammatoa Kajang Ramaikan Festival Pinisi 2018

Ritual adat Suku Ammatoa Kajang, Andingingi di Desa Tanatoa,Kecamatan Kajang,Bulukumba,Sulawesi Selatan saat ditampilkan dalam Festival Pinisi 2018,Sabtu (15/9/2018). Foto:Dok

JELAJAH NUSA – Kabut tipis masih menyeliputi kawasan hutan adat Tanah Toa (tanah leluhur). Tepatnya di Desa Tanatoa,Kecamatan Kajang,Bulukumba,Sulawesi Selatan. Namun gerak beberapa warga pagi itu membuat suasana terasa begitu sakral.

Mereka tengah bersiap untuk melakukan ritual adat Suku Ammatoa Kajang, Andingingi dalam rangkaian pelaksanaan Festival Pinisi 2018. Festival kali ini  memang tidak melulu mengenai bahari,tapi juga menghadirkan nilai-nilai spiritual.

Dipimpin seorang Kunjoma Ammatoa (Pemimpin Doa),ritual adat ini berlangsung cukup hening dan membuat suasana makin terasa kesakralannya.

“Adat budaya dan alam masih terpelihara baik di sini. Suku Kajang memiliki 26 pemangku adat. Wilayah ini juga satu-satunya yang tidak dijajah oleh Belanda. Waktu itu, Kajang mengusir penjajah dengan beras ketan. Tidak ada perang. Dan kearifan lokal terjaga turun temurun,” ungkap Panglima Adat Kajang Mohamad Amir, Sabtu (15/9/2018).

Ritual Andingingi berarti pendingin. Prosesinya ditandai dengan membawa air suci dan rangkaian bunga berkeliling. Rangkaiannya terdiri dari ikatan bunga pinang dan beberapa jenis dedaunan.

Prosesi ini dilakukan tiga kali mengelilingi area ritual. Berikutnya, dilakukan bekbek beseh. Atau, memercikan air suci kepada pengunjung di tiga arah mata angin.

Prosesi Andingingi menggunakan air suci dari 40 sumber mata air. Air ditempatkan dalam sebuah pamuneang nyereh. Posisinya ada di sentral lokasi ritual.

Di sebelahya, disertakan daung raung kajo patang puloh buangun. Yaitu, 40 jenis dedaunan dari hutan adat yang biasa digunakan masyarakat. Dedaunan ini merupakan bahan ramuan utama obat-obatan tradisional.

Ubai rampai ritual lainnya, diantaranya loka katiung (pisang), kaloko toa (kelapa), seikat padi, dan beras. Ada juga timbaho puteh. Kain ini digunakan untuk kanjoni pandingie.

Diletakkan juga beragam makanan seperti kukusi lekleng (ketan hitam), kunjona (nasi putih), daging tedong (kerbau), dan aneka lauk pauk. Lauk pauk lain berupa kacang lolong (sayur kacang merah) dan doang (udang).

“Suasananya sangat khusyuk. Inilah wujud kearifan lokal yang menambah kekayaan budaya nusantara. Rangkaian ritualnya panjang dan semuanya sarat filosofi,” Kepala Bidang Pengembangan Pemasaran I Regional I Area III Kemenpar Afrida Pelita Sari.

Setelah percikan air selesai, ritual dilanjutkan dengan pemberian baca’. Yaitu campuran bubuk beras, kunyit, dan dedaunan obat-obatan.

Semua pengunjung pun mendapatkan baca’ di dahi dan pangkal leher bagian depan. Ritual pemberian baca’ ini sebagai tanda keselamatan orang.

Lalu, lentera dari minyak kemiri dan kapas pun dinyalakan. Mantra ritual Andingingi dibacakan.

Setelah ritual selesai, ubai rampai ditempatkan dalam kamboti (keranjang) kecil. Sesaji ini berupa kukusi lekleng, kunjona, kaloko toa, dan loka katiung.

Ada juga daun sirih, ketupat, telor, dan udang. Pada sisi tepi kamboti lalu ditancapkan bambu pendek dan lentera minyak kemiri. Sesaji ini letakan di beberapa tempat tertentu dalam hutan adat.

“Adat dan budaya yang dimiliki oleh Kajang ini sudah terkenal ke mana-mana. Di sini, harmoni antara manusia dan alam diselaraskan. Yang jelas, ritual masyarakat Kajang menjadi salah satu atraksi terbaik di Festival Pinisi,” ujar Afrida lagi.

Suasana ritual Andingingi sangat kental dengan nuansa magis. Selain karena efek pepohonan besar di sekelilingnya, juga karena warna busana yang dikenakan oleh pengunjung.

Semua yang hadir mengenakan busana serba hitam dan tidak boleh mengenakan alas kaki. Busana kaum pria terdiri dari passapu (penutup kepala), brak’ne (baju), dan topeh (sarung). Untuk wanita, ada bahine (baju) dan topeh lekleng (rok).

“Ada banyak nilai dan pembelajaran yang diambil dari ritual masyarakat Kajang. Semua ini dilakukan untuk melestarikan budaya leluhur. Inilah kehebatan Festival Pinisi. Selalu ada experience terbaik dan berbeda yang ditawarkan,” terang Plt Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran I Kementerian Pariwisata RI Ni Wayan Giri Adnyani.

Rangkaian Andingingi ditutup dengan makan bersama. Menariknya, piring untuk makan ini memakai tempurung kelapa. Makanan yang disajikan merupakan swadaya masyarakat Desa Tanatoa, Kecamatan Kajang.

Sebelum ritual, masyarakat mengumpulkan bahan makanan di rumah kepala dusun. Lalu, masyarakat juga memasaknya secara bergotong royong.

 

“Tradisi masih terpelihara baik. Masyarakat Kajang hidup dengan mengedepankan nilai-nilai tradisi dari para leluhurnya. Nilai gotong royong dan kekeluargaan masih sangat kental di sana. Masyarakat juga ramah menyambut setiap tamu,” ujar Asisten Deputi Pengembangan Pemasaran I Regional III Kemenpar Ricky Fauzi.

Rangkaian ritual Andingingi pun ditutup dengan pembagian ubai rampai. Masyarakat lalu membawa pulang air suci dan dedaunan yang sudah didoakan bersama.

Piranti ini dipercaya bisa menghilangkan efek berbagai negatif. Setelah ritual, agenda dilanjutkan dengan pesta kegembiraan.

Ada Tarian Pabitte Passapu dan Tunu Panroli. Tunu Panroli ini biasanya digunakan untuk menguji kebenaran sebuah fakta.

Menteri Pariwisata Arief Yahya mengaku senang dengan kemasan Festival Pinisi. Karena sangat kaya akan sentuhan budaya.

“Bulukumba ini memiliki kekuatan budaya luar biasa. Bukan hanya Kapal Pinisinya, tapi juga filosofi yang dibangun masyarakat Kajang. Inilah paket atraksi terbaik yang dimiliki Bulukumba. Destinasi ini memang luar biasa, apalagi ditunjang dengan aksesibilitas dan amenitasnya,” tutup Menteri Pariwisata Arief Yahya.

(adh)

Share this Post:

Berita Terkait

Berita Lainnya