Merti Kali, Prosesi Agar Sumber Air Tak Berhenti
JELAJAH NUSA – Komunitas Pelestari Kali Kuning, Yogyakarta sebagai penggiat lingkungan tak ingin kondisi sungai Kali Kuning terus memburuk, rusak oleh penambangan liar maupun tumpukan sampah. Komunitas ini pun menggelar acara Merti Kali.
Dengan tema “Memuliakan Air, Merajut Budaya” kegiatan yang didukung oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sleman ini diformat secara teatrikal. Acara pun menjadi tontonan wisatawan.
Lokasi kegiatan ini dikenal sebagai tempat wisata edukasi dan alam berbasis sungai. Ada meja-meja yang diletakkan di pinggir kali sebagai tempat ngopi. Mereka menjadikan sungai dan air sebagai kekayaan yang harus dijaga agar lestari.
Guna mengingatkan masyarakat akan pentingnya sumber air itulah, dalam Merti Kali ini ditampilkan seorang Resi. Sang Resi sebagai representasi orang tua yang bijak. Dia mengajak para pejabat dan masyarakat juga generasi muda untuk melihat kondisi lingkungan kita, khususnya air.
“Air saat ini tidak hanya masalah personal atau masalah lokal. Seperti kekurangan air di musim kemarau di sebagian tempat. Tapi air, kini menjadi masalah dunia, masalah global. Hampir seluruh kehidupan butuh dan tergantung dengan ketersediaan air. Lewat gelar budaya Merti Kali ini kami mengingatkan hal itu,” jelas AG.Irawan, Ketua pelaksana Merti Kali, belum lama ini.
Melalui kidung “Mantram Tirta Nirmala” yang ditembangkan, sang Resi tak hanya bicara, tapi terjun langsung dan mengajak semua elemen masyarakat kembali merawat dan meruwat mata air.
Acara yang digelar di Bantaran Kali Kuning, RT.01, RW.36, Dusun Sempu, Wedomartani, Ngemplak, Sleman itu dihadiri Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Sleman, sejumlah pejabat setempat, pegiat sungai se-DIY dan warga sekitar.
Acara dibuka dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Setelah itu berlangsung prosesi budaya teatrikal dan tarian bedaya. Tarian menggambarkan pengambilan air di salah satu mata air di Kali Kuning oleh sekitar 10-an penari.
Air yg telah diambil dimasukkan dalam kendi, diarak dan dibawa ke atas dengan diikuti sejumlah perwakitan peserta.
Air kemudian diserahkan kepada Kepala DLH Sleman untuk dipakai menyiram bibit pohon yang baru saja ditanam.
Setelah prosesi, berlanjut dengan orasi budaya dari perwakilan komunitas pegiat sungai dan Kepala Desa Wedomartani. Mereka menyuarakan keprihatinan akan hillangnya sejumlah mata air dan semangat masyarakat untuk merawat lingkungan.
“Pesan dari prosesi tersebut, bahwa keberadaan mata air menyatu dengan sungai. Aliran air dari mata air tersebut yang harus terus dijaga agar mampu mengairi tanaman serta memberi penghidupan pada makhluk hidup lain. Jika aliran air sebuah sungai terhenti, sejatinya peradaban manusia dan makhluk lain juga terhenti,” terang Wirawan.
(adh)